Selasa, 20 Januari 2015

SEMBILAN PEMBAWA CINCIN (The Fellowship of the Ring)bag7

    Setelah makan siang Folco pulang, tapi Pippin tetap tinggal Frodo resah dan gelisah, sia-sia menunggu kedatangan Gandalf. Ia memutuskan menunggu sampai malam tiba. Setelah itu, kalau Gandalf ingin segera menemuinya, ia akan ke Crickhollow, dan mungkin ia akan sampai lebih dulu di sana. Karena Frodo akan berjalan kaki. Rencananya—dengan alasan untuk bersenang-senang dan karena ingin melihat Hobbiton untuk terakhir kali, serta banyak alasan lain-adalah berjalan kaki dari Hobbiton ke Bucklebury Ferry, sambil bersantai.
   "Sekalian berlatih," kata Frodo, sambil memandang dirinya sendiri di cermin berdebu, di koridor yang sudah setengah  HYPERLINK http://kosong.la kosong. Ia sudah cukup lama tidak berjalan-jalan jauh, dan bayangannya di cermin kelihatan agak lembek, pikirnya.
   Setelah makan siang, keluarga Sackville-Baggins datang—Lobelia dan Lotho, putranya yang berambut warna pasir. Frodo jengkel sekali. "Akhirnya rumah ini menjadi milik kami!" kata Lobelia ketika masuk. Sikapnya tidak sopan; juga tidak seluruhnya benar, karena penjualan Bag End baru berlaku efektif setelah tengah malam. Tapi mungkin Lobelia bisa dimaafkan: ia sudah menunggu tujuh puluh tujuh tahun lebih lama dari yang diharapkannya untuk mendapatkan Bag End, dan kini ia sudah berusia seratus tahun. Pokoknya ia datang untuk mengawasi bahwa semua barang yang sudah dibayarnya ada di situ, tidak dibawa pergi; dan ia ingin mengambil kunci-kuncinya. Makan waktu cukup lama untuk memuaskannya, karena ia membawa daftar lengkap dan memeriksa semuanya. Akhirnya ia pergi bersama Lotho dan kunci cadangan, dengan janji bahwa kunci yang lain akan dititipkan di rumah keluarga Gamgee di Bagshot Row. Lobelia mendengus, sikapnya jelas-jelas menunjukkan bahwa menurut pendapatnya, keluarga Gamgee bisa saja merampok habis rumah itu di malam hari. Frodo tidak menawarinya teh.
   Ia minum teh sendiri bersama Pippin dan Sam Gamgee di dapur. Sudah diumumkan secara resmi bahwa Sam akan ikut ke Buckland "untuk membantu Mr. Frodo dan merawat kebunnya"; si Gaffer setuju, meski ia tidak began senang membayangkan dirinya bertetangga dengan Lobelia.
   "Hidangan terakhir kita di Bag End!" kata Frodo, sambil mendorong kursinya ke belakang. Mereka meninggalkan piring-piring kotor untuk dicuci Lobelia. Pippin dan Sam mengikat ketiga ransel dan menumpuknya di teras. Lalu Pippin pergi berjalan-jalan di kebun. Sam menghilang.

Matahari terbenam. Bag End tampak sedih dan suram, dan tidak rapi. Frodo mengelilingi ruangan-ruangan yang sudah dikenalnya, melihat cahaya matahari terbenam memudar pada dinding-dinding, dan bayang-bayang merangkak keluar dari sudut-sudut. Di dalam rumah, kegelapan mulai  HYPERLINK http://menebar.la menebar. Ia keluar dan melangkah ke gerbang di ujung jalan, lalu menapaki jalan pendek melewati Jalan Bukit. Ia setengah berharap akan melihat Gandalf muncul dari balik cahaya senja.
   Langit jernih dan bintang-bintang bersinar terang. "Malam ini akan cerah," ia berkata keras-keras. "Bagus untuk sebuah awal. Aku merasa ingin berjalan. Aku sudah tidak tahan tetap di sini. Aku akan . berangkat dan Gandalf terpaksa mengikuti aku." ia membalikkan badannya untuk kembali, lalu berhenti, karena ia mendengar suara-suara, tepat di tikungan di ujung Bagshot Row. Satu suara jelas suara Gaffer tua; yang lainnya suara asing dan agak tidak  HYPERLINK http://menyenangkan.la menyenangkan. Ia tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi ia mendengar jawaban si Gaffer yang terdengar agak melengking. Kedengarannya Pria tua itu kesal.
   "Tidak, Mr. Baggins sudah pergi. Dia pergi pagi tadi, dan Sam-ku pergi bersamanya: pokoknya seluruh barangnya juga dibawa. Ya, sudah dijual dan dia pergi, kubilang. Kenapa? Wah, itu bukan urusanku atau urusanmu. Ke mana? Itu bukan rahasia. Dia pindah ke Bucklebury atau tempat semacamnya, jauh di sana. Ya... cukup jauh. Aku sendiri belum pernah pergi sejauh itu; banyak orang aneh di Buckland. Tidak, aku tidak bisa memberikan pesan. Selamat malam!"
   Terdengar langkah kaki menuruni Bukit. Frodo agak heran, mengapa ia merasa sangat lega bahwa langkah-langkah itu tidak mendaki Bukit. "Mungkin aku sudah muak atas segala rasa ingin tahu orang tentang sepak terjangku," pikirnya. "Mereka semua begitu ingin tahu!" ia hampir saja mendatangi si Gaffer dan menanyakan siapa orang tadi; tapi ia membatalkan niatnya dan membalikkan badan, lalu dengan cepat berjalan kembali ke Bag End.
   Pippin sedang duduk di atas ranselnya di teras. Sam tidak ada di sana. Frodo masuk ke dalam pintu yang gelap. "Sam!" panggilnya. "Sam': Sudah waktunya!"
   "Datang, Sir!" terdengar jawaban dari dalam, lalu Sam muncul sambil menyeka  HYPERLINK http://mulutnya.la mulutnya. Ia sudah berpamitan dengan tong bir di gudang bawah tanah.
   "Semua sudah naik, Sam?" tanya Frodo.
   "Ya, Sir. Sekarang aku pasti tahan, Sir."
   Frodo menutup dan mengunci pintu yang bundar, lalu memberikan' kuncinya pada Sam. "Lari dan bawa ini ke rumahmu, Sam!" kata Frodo. "Lalu potong jalan lewat Row dan jumpai kami secepat mungkin, di gerbang di jalan luar padang rumput. Kita tidak akan melewati desa malam ini. Terlalu banyak telinga menguping dan mata mengintai." Sam lari kencang sekali.
   "Nah, akhirnya kita berangkat!" kata Frodo. Mereka memanggul ransel dan meraih tongkat, dan berbelok menuju sisi barat Bag End. "Selamat tinggal!" kata Frodo, sambil memandang jendela-jendela yang gelap dan  HYPERLINK http://kosong.la kosong. Ia melambaikan tangan, lalu berbalik dan (persis seperti Bilbo, seandainya ia tahu) bergegas mengikuti Peregrin, melewati jalan kebun. Mereka melompati tempat yang rendah di pagar semak di ujung dan berjalan ke padang rumput, masuk ke dalam kegelapan, bagai bunyi desir angin di rumput.

Di sisi barat kaki Bukit, mereka menjumpai gerbang yang membuka ke jalan sempit. Di sana mereka berhenti untuk menyetel tali ransel. Tak lama kemudian Sam muncul, berlari cepat terengah-engah; ranselnya yang berat diangkat tinggi di pundaknya, dan di kepalanya bertengger kantong tinggi tak berbentuk dari kain lakan, yang disebutnya topi. Dalam keremangan ia mirip sekali dengan Kurcaci.
   "Aku yakin kau memasukkan barang-barang yang paling berat di ranselku," kata Frodo. "Aku kasihan kepada siput, dan semua yang memanggul rumah mereka di punggung."
   "Aku masih bisa mengangkat lebih banyak, Sir. Ranselku cukup ringan," kata Sam dengan gagah berani dan tidak jujur.
   "Tidak, kau tidak bisa, Sam!" kata Pippin. "Ini bagus untuknya. Ranselnya hanya berisi apa-apa yang dia suruh kita masukkan ke dalamnya. Akhir-akhir ini dia agak lamban, dan beban itu tidak akan terlalu berat baginya kalau dia sudah berjalan cukup jauh."
   "Kalian mesti ramah pada hobbit tua ini!" tawa Frodo. "Aku akan setipis tongkat kayu willow sebelum sampai di Buckland. Tapi aku cuma bercanda tadi. Kurasa bebanmu memang terlalu berat, Sam. Akan kupertimbangkan nanti, saat mengepak lagi." Frodo memungut tongkatnya lagi. "Well, kita semua senang berjalan dalam gelap," katanya, "jadi marilah kita berjalan beberapa mil sebelum tidur."
   Untuk beberapa saat mereka mengikuti jalan ke arah barat, kemudian meninggalkannya dan diam-diam masuk ke padang rumput ia-i. Me reka berbaris satu-satu melewati pagar-pagar tanaman dan deretan semak-semak rendah; malam gelap menyelimuti. Dalam jubah gelap mereka, ketiganya tidak kelihatan, seolah mereka semua mempunyai cincin sihir. Karena mereka semua hobbit, dan berusaha untuk diam, mereka tidak menimbulkan bunyi berisik yang bisa didengar para hobbit sekalipun. Bahkan binatang-binatang di padang dan hutan hampir tidak tahu mereka sedang lewat.
   Setelah beberapa saat, mereka menyeberangi Air, sebelah barat Hobbiton, melalui jembatan papan sempit. Aliran sungai di tempat itu tidak lebih dari pita hitam yang berkelok-kelok, dibatasi pepohonan alder yang merunduk. Satu-dua mil lebih jauh ke selatan, mereka tergesa-gesa menyeberangi jalan besar dari Jembatan Brandywine; sekarang mereka berada di Tookland dan berbelok ke tenggara, menuju Green Hill Country. Saat mulai mendaki lereng-lerengnya yang pertama, mereka menoleh dan melihat lampu-lampu di Hobbiton berkelap-kelip di kejauhan, di lembah Air. Segera lembah itu lenyap di dalam lipatan tanah yang gelap, diikuti oleh Bywater di sebelah telaganya yang kelabu. Ketika cahaya dari pertanian terakhir sudah jauh di belakang, sambil mengintip dari antara pepohonan, Frodo membalikkan badan dan melambaikan tangan untuk berpamitan.
   "Akan pernahkah aku memandang lembah itu lagi?" kata Frodo tenang.
   Setelah berjalan kira-kira tiga jam, mereka beristirahat. Malam cerah> sejuk, dan berbintang, tetapi gumpalan-gumpalan kabut seperti asap merangkak ke atas lereng bukit dari sungai dan padang rumput. Pohon-pohon birch kurus yang bergoyang dalam angin sepoi di atas kepala mereka membentuk jaring hitam pada latar langit yang pucat. Mereka menyantap makan malam yang sangat sederhana (untuk ukuran hobbit), lalu meneruskan perjalanan. Segera mereka tiba di jalan sempit yang turun-naik, memudar kelabu di kegelapan di depan: jalan ke Woodhall dan Stock, dan Bucklebury Ferry. Jalan itu mendaki dari jalan utama di lembah Air, dan memutar menyusuri hamparan Green Hills, menuju Woody End, sudut liar Wilayah Timur.
   Setelah beberapa saat, mereka terjun ke jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi yang menggemersikkan daun-daun kering mereka di malam hari. Gelap sekali. Mula-mula mereka bercakap-cakap, atau menyenandungkan sebuah lagu bersama-sama, karena sekarang mereka sudah jauh dari telinga-telinga yang ingin tahu. Lalu mereka berjalan terus dalam keheningan, dan Pippin mulai tertinggal. Akhirnya, saat mereka mulai mendaki lereng terjal, ia berhenti dan menguap.
   "Aku mengantuk sekali," katanya, "kurasa sebentar lagi aku bisa jatuh di jalan. Apa kalian akan tidur sambil jalan? Sudah hampir tengah malam."
   "Kupikir kau suka berjalan dalam gelap," kata Frodo. "Tapi tak perlu terburu-buru. Merry menunggu kedatangan kita sekitar lusa; tapi itu berarti kita masih punya waktu hampir dua hari lagi. Kita akan berhenti di tempat pertama yang memungkinkan."
   "Angin ada di Barat," kata Sam. "Kalau kita sampai di sisi lain bukit ini, kita akan menemukan tempat yang cukup terlindung dan hangat, Sir. Ada hutan cemara kering di depan sana, seingatku." Sam kenal baik wilayah dalam jarak dua puluh mil dari Hobbiton, tapi hanya sebatas itu pengetahuan ilmu buminya.
   Sedikit melewati puncak bukit, mereka sampai di petak pepohonan cemara. Setelah meninggalkan jalan, mereka masuk ke dalam kegelapan pekat pepohonan yang berbau resin, dan mengumpulkan ranting-ranting mati serta buah cemara untuk membuat api. Tak lama kemudian, mereka sudah menyalakan api yang berderak ramai di kaki pohon cemara besar. Ketiganya duduk mengelilingi api untuk beberapa saat, sampai kepala mereka mengangguk-angguk. Lalu masing-masing meringkuk di sebuah lekukan akar pohon besar itu, dalam jubah dan selimut mereka, dan tak lama kemudian mereka sudah tertidur lelap. Mereka tidak berjaga; bahkan Frodo belum cemas akan bahaya, karena mereka masih berada di jantung Shire. Beberapa makhluk datang memandang mereka ketika api sudah padam. Seekor rubah yang sedang melintasi hutan berhenti sejenak untuk mengendus mereka.
   "Hobbit!" pikirnya. "Hmm, apa lagi berikutnya? Aku sudah mendengar hal-hal aneh di negeri ini, tapi aku jarang mendengar ada hobbit tidur di luar, di bawah pohon. Tiga hobbit, lagi! Past' ada yang aneh di balik ini." ia benar sekali, tapi ia tak pernah tahu lebih dari itu.

Pagi datang, pucat dan lembap. Frodo bangun lebih dulu, dan menemukan punggung bajunya berlubang oleh akar pohon, dan lehernya kaku. "Berjalan demi kesenangan! Kenapa aku tidak memakai kereta saja?" pikirnya, seperti yang selalu dilakukannya pada awal perjalanan. "Dan semua tempat tidur buluku yang indah sudah dijual pada keluarga Sackville-Baggins! Akar-akar pohon ini pantas untuk mereka!" Ia meregangkan badannya. "Bangun, hobbit-hobbit!" teriaknya. "Ini pagi yang indah."
   "Apanya yang indah?" kata Pippin, sambil mengintip dari balik selimutnya dengan satu mata. "Sam! Siapkan sarapan untuk jam setengah sepuluh! Apa kau sudah menghangatkan air mandi?"
   Sam melompat bangun, matanya masih mengantuk. "Tidak, Sir, belum, Sir!" katanya.
   Frodo menyentakkan selimut dari tubuh Pippin dan menggulingkannya, lalu ia berjalan ke pinggir hutan. Di sebelah timur, matahari sedang terbit merah dari balik kabut tebal yang menyelimuti dunia. Pohon-pohon musim gugur yang mendapat sentuhan merah keemasan bagaikan berlayar tanpa akar di lautan remang-remang. Sedikit di bawah Frodo, agak ke kiri, jalanan menurun curam masuk ke cekungan dan lenyap.
   Ketika Frodo kembali, Sam dan Pippin sudah menyalakan api. "Air!" teriak Pippin. "Mana airnya?"
   "Aku tidak menyimpan air di kantongku," kata Frodo.
   "Kami pikir kau pergi mencari air," kata Pippin, yang sibuk menyusun makanan dan cangkir. "Sebaiknya kau pergi sekarang."
   "Kau bisa ikut juga," kata Frodo, "dan membawa semua botol air." Ada sungai kecil di kaki bukit. Mereka mengisi botol-botol dan ceret kecil mereka di sebuah air terjun kecil yang airnya jatuh beberapa meter dari atas bebatuan kelabu yang menonjol. Dingin sekali, seperti es; mereka merepet dan terengah-engah saat membasuh wajah dan tangan.
   Sudah lewat jam sepuluh ketika mereka selesai sarapan dan telah mengikat kembali ransel-ransel. Cuaca hari itu mulai bagus dan panas. Mereka melangkah menuruni lereng, dan menyeberangi aliran sungai yang masuk ke bawah jalan, lalu menaiki lereng berikutnya, dan turun-naik punggung bukit lain; saat itu jubah, selimut, air, makanan, dan perlengkapan lainnya sudah terasa berat membebani.
   Perjalanan hari itu kelihatannya akan panas dan melelahkan. Namun setelah beberapa mil jalanan itu tidak lagi naik-turun: ia mendaki berkelok-kelok sampai ke puncak tebing, lalu siap turun untuk terakhir kali. Di depan mereka terlihat dataran rendah dengan bercak-bercak kecil pepohonan, yang di kejauhan melebur menjadi kabut hutan kecokelatan. Mereka memandang ke seberang Woody End, ke arah Sungai Brandywine. Jalanan di depan mereka berkelok-kelok seperti seutas tali.
   "Jalanan ini seperti tak ada habisnya," kata Pippin, "tapi aku bakal habis kalau tidak istirahat. Sudah waktunya makan siang." ia duduk di tebing sisi jalan dan memandang ke timur, ke dalam keremangan tempat Sungai berada, dan ujung Shire tempat ia menghabiskan seluruh hidupnya. Sam berdiri di dekatnya. Matanya yang bulat terbuka lebar, karena ia memandangi negeri yang belum pernah dilihatnya, sampai ke ufuk baru.
   "Apa kaum Peri tinggal di dalam hutan itu?" tanyanya.
   "Aku belum pernah dengar itu," kata Pippin. Frodo  HYPERLINK http://diam.la diam. Ia juga sedang menatap ke arah timur, sepanjang jalan, seolah ia belum pernah melihatnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara keras, tapi seolah hanya untuk dirinya sendiri, mengatakan perlahan-lahan,

Jalan ini tak ada habisnya
Dari pintu ternpat ia bermula.
Terbentang hingga di kejauhan sana,
Mesti kujalani sedapat aku bisa,
Kaki letih, tapi kuberjalan juga,
Sampai kudapati jalan yang lebih lega,
Di mana banyak jalur dan urusan bertemu.
Lalu ke mana? Tak tahulah aku.

   "Itu seperti sajak Bilbo," kata Pippin. "Atau itu salah satu tiruanmu? Kedengarannya tidak terlalu membangkitkan semangat."
   "Aku tidak tahu," kata Frodo. "Sajak itu datang padaku seolah aku yang menciptakannya; tapi mungkin dulu aku pernah mendengarnya. Memang sajak itu sangat mengingatkanku pada Bilbo di tahun-tahun terakhir sebelum dia pergi. Dia sering mengatakan bahwa hanya ada satu Jalan; bahwa jalan itu seperti sebuah sungai besar: mata airnya ada di setiap ambang pintu, dan setiap jalan adalah anak sungainya. 'Berbahaya sekali, Frodo, kalau keluar pintu,' begitu dia biasa berkata. 'Kalau kau masuk ke Jalan itu, dan kau tak bisa mengendalikan kakimu, tak bisa dipastikan ke mana kau akan digiringnya. Sadarkah kau, bahwa jalan ini melewati Mirkwood, dan bila kaubiarkan, dia akan menuntunmu sampai ke Gunung Sunyi, atau bahkan ke tempat-tempat yang lebih jauh dan buruk?' Dia sering mengatakan itu di jalan luar pintu depan Bag End, terutama kalau dia habis berjalan-jalan jauh."
   "Hmm, jalan ini tidak akan menyapuku ke mana pun, setidaknya selama satu jam," kata Pippin sambil melepas ikatan ranselnya. Yang lain mengikuti, menyandarkan ransel mereka pada tebing, dan menjulurkan kaki ke arah jalan. Setelah beristirahat, mereka makan siang, lalu istirahat lagi.

Matahari mulai rendah, dan cahaya senja sudah muncul ketika mereka menuruni bukit. Sejauh itu mereka tidak bertemu seorang pun di jalan. Jalan ini tidak banyak digunakan, karena hampir tidak cocok untuk kereta, dan hanya sedikit lalu lintas ke Woody End. Setelah berjalan lagi selama kurang-lebih satu jam, Sam berhenti sejenak, seolah sedang mendengarkan. Mereka sekarang sudah berada di tanah datar; setelah melalui banyak belokan, jalan itu mengarah lurus ke depan, melewati tanah berumput dengan pepohonan tinggi di sana-sini, membentuk pinggiran hutan yang semakin dekat.
   "Aku bisa mendengar suara tapak kaki kuda di belakang sana," kata Sam.
   Mereka menoleh, tapi tikungan jalan menghalangi pandangan mereka. "Gandalf-kah itu yang menyusul kita?" kata Frodo; tapi saat mengatakan itu pun ia merasa bahwa yang datang itu bukan Gandalf, dan mendadak muncul hasrat untuk bersembunyi dari pandangan penunggang kuda itu.
   "Mungkin ini tidak begitu penting," kata Frodo meminta maaf, tapi aku lebih senang tidak kelihatan di jalan-oleh siapa pun. Aku sudah muak kelakuanku diperhatikan dan dibahas. Dan kalau itu memang Gandalf," tambahnya setelah berpikir-pikir, "kita bisa memberinya sedikit kejutan, untuk membalasnya karena dia terlambat. Ayo kita bersembunyi !"
   Kedua pendampingnya lari cepat ke kiri, dan masuk ke sebuah cekungan tak jauh dari jalan. Di sana mereka tengkurap rata ke tanah. Frodo agak ragu: rasa ingin tahu, atau suatu perasaan lain, bertempur dengan keinginannya bersembunyi. Bunyi langkah kuda semakin dekat. Tepat pada waktunya ia menjatuhkan diri ke dalam rumpun alang-alang tinggi, di batik sebatang pohon yang bayangannya menutupi jalan. Lalu ia mengangkat kepala dan mengintip dengan hati-hati dari atas salah satu akar besar.
   Dari batik tikungan datang seekor kuda hitam; bukan kuda hobbit, tapi kuda ukuran normal; di atasnya duduk seorang laki-laki besar; ia seperti meringkuk di atas pelana, terbungkus jubah hitam lebar dan kerudung, hingga yang tampak di bawahnya hanya sepatu botnya di sanggurdi yang tinggi; wajahnya tidak tampak, karena tertutup bayang-bayang.
   Ketika mencapai pohon dan sejajar dengan Frodo, kuda itu berhenti. Penunggangnya duduk diam dengan kepala menunduk, seolah sedang mendengarkan. Dari batik kerudung muncul suara mendengus, seperti orang sedang berusaha mengendus ban yang sukar ditangkap; kepala orang itu bergerak dari sisi ke sisi jalan.
   Mendadak perasaan takut ketahuan menyelimuti Frodo, dan ia ingat Cincin-nya. Ia hampir tidak berani bernapas, namun hasrat untuk mengeluarkan cincin itu dari sakunya jadi begitu kuat, sampai ia perlahan-lahan mulai menggerakkan  HYPERLINK http://tangannya.la tangannya. Ia merasa ia hanya perlu memasang cincin itu di jarinya, lain ia akan selamat. Nasihat Gandalf terasa tak masuk akal. Bilbo juga sudah pernah menggunakan Cincin itu. "Dan aku masih berada di Shire," pikirnya ketika tangannya menyentuh rantai pengikat cincin. Tepat pada saat itu si penunggang kuda duduk tegak dan menggoyangkan tali kekang. Kudanya melangkah maju, mula-mula perlahan-lahan, lain menderap cepat.
   Frodo merangkak ke tepi jalan, memperhatikan si penunggang kuda sampai menghilang di  HYPERLINK http://kejauhan.la kejauhan. Ia tidak begitu yakin, tapi kelihatannya sebelum menghilang dari pandangan, kuda itu mendadak membelok masuk ke pepohonan di sebelah kanan.
   "Yah, menurutku itu aneh sekali, dan cukup meresahkan," kata Frodo pada dirinya sendiri, sambil berjalan menghampiri teman temannya. Pippin dan Sam tetap tiarap di tengah rerumputan tinggi, dan tidak melihat apa pun; maka Frodo menguraikan tentang penunggang tadi dan tingkah lakunya yang aneh.
   "Aku tak bisa bilang kenapa, tapi aku yakin dia mencari atau mengendus-endus mencariku; dan aku juga yakin tak ingin ditemukan olehnya. Aku belum pernah melihat atau merasakan yang semacam itu di Shire."
   "Tapi apa urusan Makhluk Besar dengan kita?" kata Pippin. "Dan apa yang dilakukannya di bagian dunia ini?"
   "Ada beberapa Manusia berkeliaran," kata Frodo. "Penduduk di Wilayah Selatan bermasalah dengan Makhluk-Makhluk Besar. Kalau tak salah. Tapi aku belum pernah mendengar tentang penunggang kuda ini. Aku heran dia datang dari mana."
   "Maaf," kata Sam tiba-tiba. "Aku tahu dari mana dia datang. Dia datang dari Hobbiton, kecuali ada lebih dari satu penunggang kuda. Dan aku tahu ke mana dia akan pergi."
   "Apa maksudmu?" kata Frodo tajam, menatap Sam dengan tercengang. "Kenapa tadi kau tidak bicara?"
   "Aku baru ingat, Sir. Begini, ketika aku pulang ke rumahku tadi malam dengan membawa kunci, ayahku bilang padaku, Halo, Sam! katanya. Kukira kau sudah pergi tadi pagi bersama Mr Frodo. Ada orang aneh menanyakan Mr. Baggins dari Bag End, dan dia baru saja pergi. Aku sudah menyuruhnya pergi ke Bucklebury. Aku tidak begitu suka padanya. Dia kelihatan sangat kecewa, ketika kukatakan bahwa Mr. Baggins sudah meninggalkan rumahnya selamanya. Dia mendesis padaku. Membuatku merinding. Orang macam apa dia? kataku pada ayahku. Aku tidak tahu, katanya, tapi dia bukan hobbit. Dia tinggi dan kehitaman, dan dia membungkuk di depanku. Kuduga dia salah satu Makhluk Besar dari wilayah asing. Cara bicaranya aneh.
   "Aku tidak bisa tin-gal untuk mendengarkan lebih banyak, Sir, karena Anda sudah menungguku; aku sendiri tidak begitu memedulikannya. Ayahku sudah mulai tua, dan sudah sangat rabun; pasti sudah hampir gelap ketika orang ini datang mendaki Bukit dan menemukan ayahku sedang menghirup udara di ujung Row kita. Kuharap dia atau aku tidak menyebabkan masalah, Sir."
   "Bagaimanapun, Gaffer tak bisa disalahkan," kata Frodo. "Sebenarnya aku mendengar dia berbicara dengan orang asing, yang rupanya menanyakanku. Aku hampir saja menemuinya, untuk menanyakan siapa dia. Seandainya aku melakukan itu, atau kau menceritakannya padaku. Aku mungkin akan lebih berhati-hati di jalan."
   "Tapi mungkin tidak ada hubungan antara penunggang kuda ini dengan orang asing yang menanyai Gaffer," kata Pippin. "Kita meninggalkan Hobbiton dengan diam-diam, dan menurutku dia tak mungkin mengikuti kita."
   "Bagaimana tentang caranya mengendus-endus itu, Sir?" kata Sam. "Dan ayahku bilang dia orang hitam."
   "Aku menyesal tidak menunggu Gandalf," gumam Frodo. "Tapi mungkin itu hanya akan memperburuk masalah."
   "Kalau begun, kau tahu atau menduga sesuatu tentang penunggang kuda ini?" kata Pippin, yang menangkap kata-kata yang digumamkannya.
   "Aku tidak tahu, dan rasanya lebih baik aku tidak menduga-duga," kata Frodo.
   "Baiklah, Sepupu Frodo. Kau bisa menyimpan rahasiamu untuk sementara, kalau kau ingin misterius. Sementara itu, apa yang harus kita lakukan? Aku ingin makan sedikit sup, tapi entah mengapa aku merasa sebaiknya kita pergi dan sini. Omonganmu tentang penunggang yang mengendus-endus dengan hidung tak tampak itu membuatku cemas."
   "Ya, sebaiknya kita jalan terus sekarang," kata Frodo, "tapi jangan di tengah jalan-siapa tahu penunggang kuda itu kembali, atau yang lain menyusulnya. Kita harus berjalan cukup jauh hari ini. Buckland masih bermil-mil jauhnya."

Bayang-bayang pepohonan sudah panjang dan tipis di atas rumput, ketika mereka berangkat lagi. Kini mereka berjalan pada jarak selemparan batu di sebelah kiri jalan, dan sedapat mungkin menghindari terlihat. Tapi ini justru jadi menghambat; karena rumputnya tebal dan rapat, tanahnya tidak rata, dan pepohonan mulai merapat menjadi belukar.
   Matahari sudah terbenam merah di balik bukit-bukit di belakang mereka, dan senja mulai turun sebelum mereka kembali ke jalan, di ujung jalur panjang yang menggaris lurus sepanjang beberapa mil. Pada titik tersebut, jalanan itu berbelok dan masuk ke dataran rendah Yale, menuju Stock; tapi ada jalan setapak yang bercabang ke kanan, berkelok-kelok melalui hutan pohon ek kuno, menuju Woodhall. "Kita lewat sana," kata Frodo.
   Tak jauh dari pertemuan jalan tadi, mereka sampai di seba-tang pohon besar yang masih hidup; ranting-ranting kecil yang tumbuh di sekeliling dahan-dahannya yang patah dan sudah lama jatuh masih berdaun, tapi batangnya kosong dan bisa dimasuki melalui sebuah celah besar di sisi yang jauh dari jalan. Hobbit-hobbit itu merangkak masuk, duduk di tumpukan dedaunan dan kayu busuk. Mereka beristirahat dan makan ringan, bercakap-cakap pelan dan sesekali mendengarkan.
   Sudah senja ketika mereka merangkak kembali ke jalan. Angin Barat mendesah di dahan-dahan. Dedaunan berbisik. Tak lama kemudian, perlahan tapi pasti, jalan itu mulai diselimuti keremangan senja. Sebuah bintang muncul di atas pepohonan, di Timur yang mulai menggelap di depan mereka. Mereka berjalan berjajar dengan langkah seirama, agar tetap bersemangat. Setelah beberapa saat, ketika bintang-bintang semakin rapat dan terang, perasaan gelisah pun hilang, dan mereka tidak lagi mendengarkan bunyi derap langkah kuda. Mereka mulai bersenandung pelan, sebagaimana biasa dilakukan para hobbit kalau sedang berjalan, terutama kalau sudah mendekati rumah di malam hari. Kebanyakan hobbit biasanya menyanyikan lagu makan malam atau lagu tidur, tetapi hobbit-hobbit ini menyenandungkan lagu perjalanan (meski, tentu saja, bukan tanpa menyebut makan malam dan tidur). Bilbo Baggins yang mengarang sajaknya, mengikuti lagu yang sudah setua bukit-bukit; ia mengajarkannya pada Frodo saat mereka berjalan-jalan di lembah Air dan berbincang-bincang tentang Petualangan.

Api pendiangan menyala merah,
Ada tempat tidur di dalam rumah;
Tetapi belum lelah kaki kita,
Di balik tikungan masih ada
Pohon atau batu berdiri tiba-tiba
Yang belum dilihat orang, kecuali kita.
Daun dan rumput, pohon dan bunga,
Biarkan saja! Biarkan saja!
Bukit dan air luas terbentang,
Lewati saja, walau mengundang!

Di balik tikungan mungkin menunggu
Get-bang rahasia atau jalan baru,
Meski hari ini kita lewati,
Esok mungkin kita kembali
Menapaki jalan tersembunyi
Menuju Bulan atau Matahari.
Apel dan duri, kacang dan stroberi,
Biarkan pergi! Biarkan pergi!
Pasir dan batu, telaga dan lembah,
Selamat berpisah! Selamat berpisah!

Rumah ada di belakang, dunia di depan,
Kita menapaki begitu banyak jalan
Lewat bayang-bayang, sampai ke ujung malam,
Dan semua bintang menyala temaram.
Maka dunia di belakang dan rumah di depan,
Kita kembali ke rumah, dan ke peraduan.
Kabut dan senja, awan dan bayangan,
Akan terlupakan! Akan terlupakan!
Api dan lampu, daging dan roti,
Sekarang tidur! Tidur bermimpi!

   Lagu itu berakhir. "Dan sekarang tidur! Dan sekarang tidur!" nyanyi Pippin dengan suara nyaring.
   "Ssstt!" kata Frodo. "Rasanya aku mendengar derap kaki kuda lagi."
   Mereka berhenti mendadak, berdiri diam seperti bayangan pohon, sambil mendengarkan. Memang ada bunyi derap kaki kuda di jalan, agak di belakang, datang menunggang angin, perlahan dan jelas. Dengan cepat dan diam-diam mereka keluar dari jalan, lari ke dalam bayangan yang lebih gelap di bawah pohon-pohon ek.
   "Jangan terlalu jauh!" kata Frodo. "Aku tak ingin terlihat, tapi aku ingin melihat, apakah itu Penunggang Hitam lain."
   "Baiklah!" kata Pippin. "Tapi jangan lupa, dia suka mengendus-endus!"
   Derap langkah kuda semakin dekat. Mereka tak punya waktu untuk menemukan tempat persembunyian yang lebih bagus daripada kegelapan menyeluruh di bawah pepohonan; Sam dan Pippin membungkuk di belakang batang pohon besar, sementara Frodo merangkak kembali beberapa meter ke arah jalan. Jalan itu terlihat kelabu pucat, bagai sebuah garis cahaya yang memudar melewati hutan. Di atasnya bintang-bintang bertebaran di langit yang redup, tapi tak ada bulan.
   Bunyi langkah kuda berhenti. Frodo melihat sesuatu yang gelap melewati tempat yang agak terang di antara dua pohon, kemudian berhenti. Kelihatannya seperti bayangan hitam seekor kuda yang dituntun suatu bayangan hitam yang lebih kecil. Bayangan gelap itu berdiri dekat tempat mereka meninggalkan jalan, dan ia bergoyang ke kiri ke kanan. Frodo merasa mendengar bunyi mendengus. Bayangan itu membungkuk ke tanah, lalu mulai merangkak ke arahnya.
   Sekali lagi hasrat untuk memakai Cincin menyergap Frodo; kali ini lebih kuat daripada sebelumnya. Begitu kuat, sampai-sampai tangannya sudah masuk ke dalam saku, nyaris sebelum ia menyadari apa yang dilakukannya. Tapi pada saat itu terdengar bunyi seperti campuran nyanyian dan tawa. Suara-suara jernih naik-turun di udara berbintang. Bayangan gelap itu menegakkan diri dan  HYPERLINK http://pergi.la pergi. Ia memanjat kudanya yang gelap, dan seolah lenyap ke dalam kegelapan di seberang. Frodo bernapas kembali.
   "Peri-peri!" seru Sam dengan bisikan parau. "Peri, Sir!" ia pasti sudah lari keluar dari balik pepohonan, menghampiri suara-suara itu, seandainya mereka tidak menahannya.
   "Ya, mereka Peri," kata Frodo. "Kadang-kadang kita bisa bertemu mereka di Woody End. Mereka tidak tinggal di Shire, tapi di musim Semi dan Gugur mereka mengembara ke Shire, keluar dari negeri mereka sendiri, jauh di luar Bukit-Bukit Menara. Aku bersyukur mereka datang! Kalian tidak melihat, tapi Penunggang Hitam itu berhenti di sin, dan sudah mulai merangkak ke arah kita ketika terdengar nyanyian mereka. Begitu mendengar suara mereka, dia menyelinap pergi."
   "Bagaimana dengan para Peri itu?" kata Sam, terlalu bergairah, sampai tak peduli tentang penunggang kuda tadi. "Tidak bisakah kita pergi melihat mereka?"
   "Dengar! Mereka sedang menuju kemari," kata Frodo. "Kita tunggu saja di sini."
   Suara nyanyian semakin dekat. Satu suara jernih terdengar lebih jelas di antara yang  HYPERLINK http://lain.la lain. Ia menyanyi dalam bahasa Peri, yang hanya sedikit dikenal Frodo, dan sama sekali tidak dikenal oleh yang lainnya. Paduan suara dan irama itu meresap ke dalam pikiran mereka, membentuk diri menjadi kata-kata yang hanya sebagian mereka pahami. Beginilah lagu yang didengar Frodo:
   
Putih-salju! Putih-salju! Oh wanita jelita!
Oh Ratu di seberang Samudra Barat!
Oh Cahaya 'tuk kami yang mengembara
Di tengah pohon yang berderet rapat!

Gilthoniel! Oh Elbereth!
Jernih matamu, terang napasmu!
Putih-salju! Putih-salju! Kami bernyanyi untukmu
Di negeri jauh, seberang Samudra itu,

Oh bintang-bintang di tahun nan gelap
Ditebar oleh tangannya yang bercahaya,
Di padang berangin yang terang gemerlap
Bunga-bunga perakmu meliuk berdansa!

Oh Elbereth! Gilthoniel!
kami masih ingat, kami yang tinggal
Di negeri jauh di bawah pepohonan rapat,
Cahaya bintangmu di atas Samudra Barat.

   Lagu itu berakhir. "Mereka itu Peri-Peri Bangsawan! Mereka menyebut nama Elbereth!" kata Frodo heran. "Jarang sekali kaum Peri tertinggi itu terlihat di Shire. Tak banyak yang tersisa di Dunia Tengah, sebelah timur Samudra Besar. Ini benar-benar suatu kebetulan aneh!"
   Hobbit-hobbit itu duduk dalam bayang-bayang di tepi jalan. Tak lama kemudian, para Peri datang melewati jalan, menuju lembah. Mereka lewat sangat perlahan, dan para hobbit bisa melihat cahaya bintang berkilauan di atas rambut mereka dan di dalam mata mereka. Mereka tidak membawa lampu, namun saat mereka berjalan, suatu cahaya gemerlap seolah jatuh di sekitar kaki mereka, seperti sinar bulan yang sedang terbit di atas punggung bukit. Mereka sekarang diam, dan ketika Peri terakhir lewat, la menoleh memandang para hobbit, dan tertawa.
   "Hidup, Frodo!" serunya. "Kau masih di luar, malam-malam begini. Atau kau tersesat?" Lalu la memanggil yang lain dengan nyaring, dan seluruh rombongan berhenti dan berkumpul.
   "Ini benar-benar ajaib!" kata mereka. "Tiga hobbit di hutan, di malam hari! Kami belum pernah menyaksikan hal seperti ini sejak Bilbo pergi. Apa artinya ini?"
   "Artinya," kata Frodo, "kelihatannya kami berjalan searah dengan kalian. Aku senang berjalan di bawah bintang-bintang. Tapi aku akan lebih senang bila didampingi rombonganmu."
   "Tapi kami tidak butuh didampingi, lagi pula hobbit-hobbit menjemukan sekali," tawa mereka. "Selain itu, bagaimana kau tahu kami juga menuju arah yang sama denganmu? Kau tidak tahu ke mana kami akan pergi."
   "Dan bagaimana kau tahu namaku?" Frodo balik bertanya.
   "Kami tahu banyak hal," kata mereka. "Kami sering melihatmu bersama Bilbo sebelum ini, meski kau belum tentu melihat kami."
   "Siapa kau, dan siapa rajamu?" tanya Frodo.
   "Aku Gildor," jawab pemimpin mereka, Peri yang pertama memanggilnya. "Gildor Inglorion dan Rumah Finrod. Kami Orang Buangan, dan kebanyakan bangsa kami sudah pergi lama sekali. Kami pun hanya sementara berlama-lama di sini, sebelum kembali menyeberangi Samudra Besar. Tetapi beberapa saudara kami masih tinggal dalam damai di Rivendell. Ayo, Frodo, ceritakan pada kami, apa yang sedang kaulakukan? Karena kami melihat bayangan ketakutan menyelimuti kalian."
   "Oh, Orang-Orang Bijak!" sela Pippin dengan bergairah. “Ceritakan pada kami tentang para Penunggang Hitam!"
   "Penunggang Hitam?" mereka berkata dengan suara berbisik. "Mengapa kau bertanya tentang Penunggang Hitam?"
   "Karena dua Penunggang Hitam menyusul kami hari ini, atau satu penunggang melakukan itu dua kali," kata Pippin, "baru saja dia pergi, ketika kalian mendekat."
   Para Peri tidak langsung menjawab, tetapi berbicara di antara mereka sendiri dengan pelan-pelan, dalam bahasa mereka. Akhirnya Gildor berbicara kepada para hobbit. "Kami tidak akan membicarakannya di sini," katanya. "Menurut kami, sebaiknya kalian ikut kami sekarang. Ini bukan kebiasaan kami, tapi untuk kali ini kami akan membawa kalian dalam perjalanan kami, dan kalian akan tidur bersama kami malam ini, kalau kalian mau."
   "Oh, Bangsa Elok! Ini sungguh keberuntungan tak terduga," kata Pippin. Sam tak mampu berbicara.
   "Aku berterima kasih padamu, Gildor Inglorion," kata Frodo sambil membungkuk. "Elen sila lumenn' ornentielvo, sebuah bintang bersinar pada jam pertemuan kita," tambahnya dalam bahasa tinggi kaum Peri.
   "Hati-hati, teman-teman!" seru Gildor sambil tertawa. "Jangan bicarakan hal-hal rahasia! Dia mengerti Bahasa Kuno. Bilbo memang guru yang balk. Hidup, sahabat kaum Peri!" katanya, sambil membungkuk di depan Frodo. "Mari, sekarang kau dan kawan-kawanmu bergabung dengan rombonganku! Sebaiknya kalian berjalan di tengah, supaya tidak tersesat. Kau mungkin akan lelah sebelum kami berhenti."
   "Mengapa? Ke mana kalian akan pergi?" tanya Frodo.
   "Malam ini kami akan ke hutan di bukit-bukit di atas Woodhall. Jaraknya beberapa mil, tapi di akhir perjalanan kalian akan beristirahat, dan ini akan mempersingkat perjalanan kalian besok."










0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dan mari kita tunjukan bahwa kita adalah bangsa yg beradab..
Terimakasih