Sahabat,
Kamu bisa menipu hatimu sekali, dua kali, bahkan berkali-kali. Tapi tidak selamanya. Kelak akan tiba saatnya kamu sadari bahwa ada seseorang yang sangat kamu rindukan. Ingin rasanya bertemu dan berbicara padanya. Tapi, lidahmu kelu hingga tidak sanggup berkata. Kamu mulai merasa dirimu bodoh ketika peluh mulai membasahi keningmu dan lututmu terasa lemah. Ada keinginan untuk sekedar mengguratkan seulas senyum simpul. Tapi, bahkan itupun tidak kamu bisa. Karena akalmu sepertinya tidak mampu bekerja. Dan kamu terpaku di tempat berdirimu, tertunduk, tidak tahu harus berbuat apa.
Lalu kamu lafadzkan ayat Ilahi dan tiba-tiba merasakan resapan energi dalam darahmu. Memang tidak untuk berkomunikasi dengannya, tapi setidaknya untuk bergerak. Dan itu telah cukup bagimu.
Aku jadi teringat suatu masa di kala remajaku. Ada banyak kisah yang masih tersimpan dalam benakku. Tentang seseorang yang sangat istimewa.
Ketika pertama kali aku melihatnya, teman-temanku berkata bahwa dia anak baru yang sombong dan tidak mau tahu siapapun. Tapi, aku tidak percaya. Aku yakin di dalam diri anak laki-laki bertubuh tinggi kurus dan berkacamata itu ada hati yang indah.
Tentu saja aku tidak mengatakannya kepada yang lain karena pasti kedengarannya konyol. Apalagi sudah jelas setiap dia berjalan kepalanya mendongak angkuh setengah senti lebih tinggi dari anak lain hingga sering menjadi bahan gurauan. Tapi entah kenapa aku yakin ada sesuatu yang berbeda darinya.
Selama kelas dua SMP, aku memiliki gank yang cukup solid. Dalam gank ini aku sering menjadi juru dokumentasi atau juru bicara kepada orang yang mereka sukai. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin mereka percaya aku tidak akan berusaha merebut hati orang yang jadi pujaan mereka. Mungkin karena aku yang paling banyak menggunakan logika dan tidak pernah membicarakan masalah anak laki-laki. Mungkin karena aku yang tertua dan menjadi tempat konsultasi mereka. Toh aku sama sekali tidak keberatan.
Suatu waktu, sahabatku Rere sedang suka sekali pada anak kelas sebelah yang tidak lain ternyata punya hubungan darah denganku. Aku sendiri baru tahu beberapa lama setelah kami berpapasan di pernikahan salah seorang saudara jauhku.
Ah, dunia memang kecil.
Sahabatku tentu tidak ingin menyiakan kesempatan. Dengan kamera Polaroid tergantung di bahuku, di pekan olahraga dan seni sekolah kami melihatnya tengah duduk di tangga atas kelas D. �Ayo, cepat hampiri dia dan minta fotonya yah,� bisik Rere tidak sabar. Aku menggangguk dan bermaksud untuk mendekatinya.
Namun, tiba-tiba langkahku terhenti begitu aku menyadari siapa yang duduk di sisinya. Anak baru itu. Ia tengah serius mengikuti pentas seni yang digelar di dalam ruangan. Wajahnya terlihat kaku seperti manekin. Refleks tanganku meraih lensa kamera dan mengarahkannya padanya. Rasa panas mulai menjalari tubuhku. Aku sudah siap menjepretnya ketika tahu-tahu ia menoleh ke arahku. Dia tampak terkejut.
Dan klik! Tidak sengaja kameraku sudah memfotonya.
Saat itu rasanya aku ingin tenggelam ke dalam tanah dan berdiam di sana. Dalam hati ingin kuucap kata maaf. Tapi, aku diam saja. Aku berpura-pura membetulkan lensaku sebelum aku bergegas menuruni tangga dan nyaris menabrak sahabatku.
�Bagaimana? Sudah kamu dapat fotonya?� tanya Rere penuh harap. Gelagapan aku menjawab, �Maaf, Re. Belum. Tapi, nanti pasti aku akan minta untukmu.�
Rere tampak tidak segera mengerti, �Kenapa harus menunggu nanti? Sekarang kan kamu bisa. Bagaimana kalau��
Suara Rere perlahan tenggelam dalam bisingnya suara anak-anak. Aku lihat ibu Nis memanggilku. Pasti dia ingin menanyakan padaku mengenai persoalan lomba karaoke. Kebetulan aku memang penanggung jawabnya. Namun, aku terus berjalan. Aku merutuki sikapku sendiri. Ada apa sih denganku? Kenapa dia membuatku begitu gugup? Dan kenapa aku memfotonya? Bodoh. Benar-benar bodoh.
Aku berusaha melupakan apa yang telah terjadi ketika dua hari kemudian dia sendiri yang menghampiriku. Dia bilang padaku sebagai sesama pengurus OSIS sudah sewajarnya kami saling mengenal. Dengan sikap tenang, dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku erat.
Entah apa yang dipikirkannya. Di hari-hari berikutnya ia sering menyapaku dan mengajakku pulang berdua dengannya. Sebenarnya aku ingin sekali jalan dengannya. Tapi, kakakku telah lebih dulu mengajariku bahwa tidak baik hanya berdua dengan laki-laki. Apalagi jika sampai berpacaran.
Kalau aku merunut kejadiannya, ketika itu malam sudah menjelang. Aku baru saja pulang dari latihan renang sewaktu pintu belakang terbuka dengan sekali gebrak.
Brak!
Aku yang sedang makan roti bakar sampai tersedak saking kagetnya. �Uhuk�kak, ada apa?� tanyaku cemas. Kakak yang mengenakan baju SMA lengkap dan menyangkil tas menghempaskan diri di kursi yang berada di sampingku dan dengan nafas tersenggal berkata, �kita harus pakai jilbab, De. Kalau tidak kita akan masuk neraka.�
Aku sama sekali tidak mengerti. Jilbab? Neraka? Tentu saja di usiaku ini, aku sudah paham mengenai kehidupan di kemudian hari. Tapi jilbab. Apa itu? Dan kenapa kita harus mengenakannya kalau tidak ingin masuk neraka?
Pelan-pelan kubaca artikel yang dibawa kakak yang menjelaskan bagaimana rambut perempuan kelak akan diikat kuat-kuat hingga darahnya mendidih dan terbakar di neraka. Dan itu semua karena kita tidak memakai kain penutup kepala.
Wow. Dahsyat sekali.
Hal lain yang diajarkan kepadaku malam itu adalah bahwa kita tidak boleh berpacaran. Karena yang ketiga pasti syaitan. Maka, sambil menggenggam tanganku, kakak mengajakku menemui mama dan papa. Aku yang selalu bersemangat menuruti pelajaran yang diberikan kakak, bersamanya mencoba meyakinkan orang tua tentang ketentuan berjilbab dan membicarakan masalah pacaran itu. �Selagi dia, �kakak menunjuk ke arahku, �belum masuk fase puber.� Yah well. Aku memang baru akan masuk SMP. Jadi masih kecil saat itu.
Setelah mendiskusikannya secara alot � kebetulan orang tua kami waktu itu masih belum terlalu kental keislamannya � diputuskan bahwa kakak saja yang boleh berjilbab sementara aku bebas melakukan apapun yang kumau. Selama masih dalam batasan norma tentunya. Aku ingat papa dan mama mewanti-wanti kakak untuk tidak mendesakku melakukan sesuatu yang akan membuatku meninggalkan hal-hal yang berguna bagiku. Menari, menyanyi, berenang dan lainnya lagi. �Kalau kamu ingin mengerjakan sesuatu, jangan ajak adikmu. Dia masih kecil.�
Aku kecil. Tapi, aku rasa tidak sekecil itu. Meskipun aku tidak berjilbab, mulai hari itu aku memutuskan untuk menuruti apa yang sudah kupelajari. Untuk tidak mengenakan pakaian yang terlalu minim dan tidak berpacaran.
Alhasil, entah bagaimana aku malah menjadi agak kaku dengan anak laki-laki. Bahkan secara perlahan membentuk kepribadian yang kurang fleksibel, khususnya dengan mereka yang tampaknya mencoba mendekati. Aduh. Langsung timbul satu fobia untuk menjauhi.
Maka, ketika si anak baru sering memanggil dari kejauhan dan bertanya, �Kamu mau pulang denganku hari ini?� Dalam hati aku berkata iya, tapi di bibir aku mengatakan tidak. Sedih juga.
Dan perlahan hubungan kami merenggang dan dia mulai terlihat sebal. Seperti ketika kami sama-sama menjadi kakak kelas yang ditugaskan menjadi mentor anak baru.
�Temani aku ajak anak-anak atas turun�, katanya
�Kenapa harus aku? Kan ada yang lainnya�
�Yang lain sibuk�
�Aku juga sibuk�
�Kamu sibuk apa? Dari tadi hanya berdiri di sudut lapangan sini�
�Aku sedang mengawasi anak-anak berbaris�
�Sudah banyak yang mengawasi�
�Kurang banyak�
�Apa susahnya sih kalau kamu menemani aku ke atas sebentar?!�
�Apa susahnya sih kamu cari anak lain buat menemani kamu ke atas?! Lagian kamu kan ada teman jaga sendiri�. Aku ngotot
�Dasar keras kepala!�
�Kayak kamu gak aja!�
Lalu tiba-tiba terjadi sesuatu di luar dugaan. Dengan wajah gusar, dia meraih tanganku dan memaksaku pergi dengannya. Aku banyak mengumpat, memukuli lengannya, dan nyaris terseret olehnya ketika kemudian tampaknya dia menyadari kesalahannya. Berhenti di tempat dia memunggungiku, mendelik sekilas ke arahku sebelum berjalan sendiri menjauhi tempatku berdiri.
Kalau tidak salah itu pertama kalinya kami berantem. Dan entah kenapa seperti menjadi suatu tradisi setiap kali kami saling bertegur kata, alih-alih yang terjadi kami malah bersilat lidah. Terutama di kelas tiga ketika tahu-tahu kami sekelas. Selalu saja kami kesal antara satu sama lain. �Kamu cewek paling menyebalkan yang aku tahu!� Dan aku bilang, �kamu cowok yang paling menyebalkan yang aku tahu!� � Lalu dengan kasar dia pernah bilang, �kamu bodoh!� dan aku bilang, �kalau begitu kamu lebih bodoh dariku! Mengalahkan aku di kelas saja tidak bisa�. Aku memang juara kelas, sementara dia rangking tiga.
Sayang. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Benar-benar tidak ada.
Dia kemudian berpacaran dengan gadis lain. Teman sebangkuku. Wah, hebat. Tambah sering kami berantem hanya gara-gara setiap habis istirahat dia tidak mau beranjak dari kursiku. Dia duduk di sana dengan tangan dilipat di dada, sementara aku mendorongnya pergi.
Hanya satu kali kami sedikit berdamai ketika ia suatu kali merebut dompetku dan membukanya. Dia lebih tinggi dariku dan itu membuatku tidak mampu menjangkau foto yang kemudian dia keluarkan.
�Siapa nih?� tanyanya dengan setengah mengejek, �adikmu?� Ingin rasanya aku menangis. Aku mulai berteriak, �cepat kembalikan! Ayo kembalikan! Itu fotoku!�
Begitu marahnya aku padanya sampai aku merasa perlu duduk. Dia duduk di sisiku dan memperhatikan wajahku. Aku jadi merasa terganggu. Dengan galak aku menghardiknya, �Kenapa?!� �Ada yang salah dengan wajahku?!�
Menatap sekilas fotoku, dia menatapku lagi dan berkata, �sama sekali tidak. Aku pikir kamu jauh lebih cantik dari fotomu.�
Aku sama sekali tidak menyangka itu yang akan dikatakannya. Tanganku tiba-tiba gemetar dan aku terus menunduk menatap ujung sepatuku. Agak lama kami duduk bersisian dalam diam sebelum aku mengambil foto dari tangannya dan beranjak pergi.
Kalau dipikir, dia cinta pertamaku. Ada juga beberapa kisah lain yang hebat dan membawa kenangan tentang orang-orang istimewa di masa kemudian. Tapi, aku rasa dia tidak akan tergantikan karena dia yang mula-mula membuatku tidak sanggup berpikir jernih, yang memiliki sejumlah kisah sungguhan denganku, hingga pasti tidak kulupakan.
Terakhir aku bertemu dengannya dalam suatu reuni kecil sekolah. Dan dia mengatakan, �rasanya aku mengenalmu. Kita tampaknya dulu dekat. Apa benar begitu?� Dan aku hanya menatapnya sambil tersenyum dan pelan menjawab, �dulu kita memang saling kenal. Tapi, aku rasa tidak terlalu dekat,� sebelum aku meninggalkannya dengan tanda tanya siapa diriku.
Ah sahabat,
Dia bahkan tidak ingat pada mantan pacarnya sendiri, teman sebangkuku. Jadi, aku rasa aku perlu bersyukur karena tidak pernah jadian dengannya. Siapa tahu akunya saja yang merasa kami pernah memiliki hubungan yang unik, padahal sebenarnya tidak. Siapa tahu dia dulu sering mengajakku pulang bersama karena hanya ingin ditemani saja.
Aku mungkin terlalu na�f. Entahlah.
Kadang aku berpikir anak-anak laki-laki hanya tertarik padaku karena taruhan, baru putus cinta hingga mencari pelampiasan, atau sekedar ingin membuktikan bahwa mereka bisa mendapatkan gadis yang kabarnya tidak pernah pacaran dengan orang itu.
Tentu saja aku perlu berbaik sangka kepada orang. Maka aku tidak ingin ambil pusing soal tersebut.
Bahkan aku tidak mau ambil pusing pada kenyataan bahwa saat ini sepertinya aku jatuh cinta lagi pada seseorang. Pasalnya, aku tahu pasti kalau laki-laki ini sama sekali tidak tertarik padaku dan kami tidak akan pernah menjadi lebih dari sekedar teman.
Selama ini aku takut jatuh cinta. Takut patah hati, tidak percaya pada setiap perkataan manis yang kudengar.
Tapi, laki-laki ini tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu. Dia hanya seorang biasa yang bersikap baik pada semua orang.
Jika kurenungkan, Allah memberikan hati kepada kita untuk merasakan sebentuk cinta yang ganjil terhadap orang yang berbeda dari kita. Aku sering khawatir bahwa aku akan melewati batas hanya karena pengaruh keinginan kuatku yang tidak baik. Tapi, orang bilang di usiaku sudah sewajarnya aku mulai merasakan cinta pada seseorang.
Yah. Aku tahu. Tidak pantas aku memupuknya. Karena cinta ini tidak akan mengarah ke mana. Tapi, ada syukur di dalam diriku bahwa Allah memberiku kesempatan merasakan sesuatu yang indah, yang menghangatkan hati.
Setiap kali aku melihatnya atau sepintas mengingatnya, segera kupejamkan mata dan mengucap istighfar. Tidak ingin hatiku ternoda oleh perasaan yang satu ini.
Aku tetap akan berteman dengannya. Aku tahu. Sekedar memilikinya sebagai teman sudah menyenangkan bagiku. Dan kisah-kisah masa lalu yang penuh dengan surat cinta, boneka, kado misterius, bunga, salam, dan sisipan kertas kecil dalam buku hanya akan menjadi penghangat jiwa yang semakin membuatku dewasa.
Cinta.
Aku berterima kasih padamu telah mempertemukan aku pada sosok-sosok yang hebat. Mulai hari ini aku akan berusaha untuk lebih membuka diri, berani menerima tantangan yang kamu berikan.
Semoga kelak akan kutemui dia yang selama ini menantiku dan kunantikan juga. Kuharap kami akan membangun satu jalinan kasih yang erat yang membawa kami menyusuri jalan Illahi selamanya. Kalaupun kami tidak pernah bertemu, takkan kusesali seluruh langkah yang telah kulalui.
PS: teruntukmu sahabat. Terima kasih telah mendengarkan
(Nadiah Abidin@)
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Kamu bisa menipu hatimu sekali, dua kali, bahkan berkali-kali. Tapi tidak selamanya. Kelak akan tiba saatnya kamu sadari bahwa ada seseorang yang sangat kamu rindukan. Ingin rasanya bertemu dan berbicara padanya. Tapi, lidahmu kelu hingga tidak sanggup berkata. Kamu mulai merasa dirimu bodoh ketika peluh mulai membasahi keningmu dan lututmu terasa lemah. Ada keinginan untuk sekedar mengguratkan seulas senyum simpul. Tapi, bahkan itupun tidak kamu bisa. Karena akalmu sepertinya tidak mampu bekerja. Dan kamu terpaku di tempat berdirimu, tertunduk, tidak tahu harus berbuat apa.
Lalu kamu lafadzkan ayat Ilahi dan tiba-tiba merasakan resapan energi dalam darahmu. Memang tidak untuk berkomunikasi dengannya, tapi setidaknya untuk bergerak. Dan itu telah cukup bagimu.
Aku jadi teringat suatu masa di kala remajaku. Ada banyak kisah yang masih tersimpan dalam benakku. Tentang seseorang yang sangat istimewa.
Ketika pertama kali aku melihatnya, teman-temanku berkata bahwa dia anak baru yang sombong dan tidak mau tahu siapapun. Tapi, aku tidak percaya. Aku yakin di dalam diri anak laki-laki bertubuh tinggi kurus dan berkacamata itu ada hati yang indah.
Tentu saja aku tidak mengatakannya kepada yang lain karena pasti kedengarannya konyol. Apalagi sudah jelas setiap dia berjalan kepalanya mendongak angkuh setengah senti lebih tinggi dari anak lain hingga sering menjadi bahan gurauan. Tapi entah kenapa aku yakin ada sesuatu yang berbeda darinya.
Selama kelas dua SMP, aku memiliki gank yang cukup solid. Dalam gank ini aku sering menjadi juru dokumentasi atau juru bicara kepada orang yang mereka sukai. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin mereka percaya aku tidak akan berusaha merebut hati orang yang jadi pujaan mereka. Mungkin karena aku yang paling banyak menggunakan logika dan tidak pernah membicarakan masalah anak laki-laki. Mungkin karena aku yang tertua dan menjadi tempat konsultasi mereka. Toh aku sama sekali tidak keberatan.
Suatu waktu, sahabatku Rere sedang suka sekali pada anak kelas sebelah yang tidak lain ternyata punya hubungan darah denganku. Aku sendiri baru tahu beberapa lama setelah kami berpapasan di pernikahan salah seorang saudara jauhku.
Ah, dunia memang kecil.
Sahabatku tentu tidak ingin menyiakan kesempatan. Dengan kamera Polaroid tergantung di bahuku, di pekan olahraga dan seni sekolah kami melihatnya tengah duduk di tangga atas kelas D. �Ayo, cepat hampiri dia dan minta fotonya yah,� bisik Rere tidak sabar. Aku menggangguk dan bermaksud untuk mendekatinya.
Namun, tiba-tiba langkahku terhenti begitu aku menyadari siapa yang duduk di sisinya. Anak baru itu. Ia tengah serius mengikuti pentas seni yang digelar di dalam ruangan. Wajahnya terlihat kaku seperti manekin. Refleks tanganku meraih lensa kamera dan mengarahkannya padanya. Rasa panas mulai menjalari tubuhku. Aku sudah siap menjepretnya ketika tahu-tahu ia menoleh ke arahku. Dia tampak terkejut.
Dan klik! Tidak sengaja kameraku sudah memfotonya.
Saat itu rasanya aku ingin tenggelam ke dalam tanah dan berdiam di sana. Dalam hati ingin kuucap kata maaf. Tapi, aku diam saja. Aku berpura-pura membetulkan lensaku sebelum aku bergegas menuruni tangga dan nyaris menabrak sahabatku.
�Bagaimana? Sudah kamu dapat fotonya?� tanya Rere penuh harap. Gelagapan aku menjawab, �Maaf, Re. Belum. Tapi, nanti pasti aku akan minta untukmu.�
Rere tampak tidak segera mengerti, �Kenapa harus menunggu nanti? Sekarang kan kamu bisa. Bagaimana kalau��
Suara Rere perlahan tenggelam dalam bisingnya suara anak-anak. Aku lihat ibu Nis memanggilku. Pasti dia ingin menanyakan padaku mengenai persoalan lomba karaoke. Kebetulan aku memang penanggung jawabnya. Namun, aku terus berjalan. Aku merutuki sikapku sendiri. Ada apa sih denganku? Kenapa dia membuatku begitu gugup? Dan kenapa aku memfotonya? Bodoh. Benar-benar bodoh.
Aku berusaha melupakan apa yang telah terjadi ketika dua hari kemudian dia sendiri yang menghampiriku. Dia bilang padaku sebagai sesama pengurus OSIS sudah sewajarnya kami saling mengenal. Dengan sikap tenang, dia mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku erat.
Entah apa yang dipikirkannya. Di hari-hari berikutnya ia sering menyapaku dan mengajakku pulang berdua dengannya. Sebenarnya aku ingin sekali jalan dengannya. Tapi, kakakku telah lebih dulu mengajariku bahwa tidak baik hanya berdua dengan laki-laki. Apalagi jika sampai berpacaran.
Kalau aku merunut kejadiannya, ketika itu malam sudah menjelang. Aku baru saja pulang dari latihan renang sewaktu pintu belakang terbuka dengan sekali gebrak.
Brak!
Aku yang sedang makan roti bakar sampai tersedak saking kagetnya. �Uhuk�kak, ada apa?� tanyaku cemas. Kakak yang mengenakan baju SMA lengkap dan menyangkil tas menghempaskan diri di kursi yang berada di sampingku dan dengan nafas tersenggal berkata, �kita harus pakai jilbab, De. Kalau tidak kita akan masuk neraka.�
Aku sama sekali tidak mengerti. Jilbab? Neraka? Tentu saja di usiaku ini, aku sudah paham mengenai kehidupan di kemudian hari. Tapi jilbab. Apa itu? Dan kenapa kita harus mengenakannya kalau tidak ingin masuk neraka?
Pelan-pelan kubaca artikel yang dibawa kakak yang menjelaskan bagaimana rambut perempuan kelak akan diikat kuat-kuat hingga darahnya mendidih dan terbakar di neraka. Dan itu semua karena kita tidak memakai kain penutup kepala.
Wow. Dahsyat sekali.
Hal lain yang diajarkan kepadaku malam itu adalah bahwa kita tidak boleh berpacaran. Karena yang ketiga pasti syaitan. Maka, sambil menggenggam tanganku, kakak mengajakku menemui mama dan papa. Aku yang selalu bersemangat menuruti pelajaran yang diberikan kakak, bersamanya mencoba meyakinkan orang tua tentang ketentuan berjilbab dan membicarakan masalah pacaran itu. �Selagi dia, �kakak menunjuk ke arahku, �belum masuk fase puber.� Yah well. Aku memang baru akan masuk SMP. Jadi masih kecil saat itu.
Setelah mendiskusikannya secara alot � kebetulan orang tua kami waktu itu masih belum terlalu kental keislamannya � diputuskan bahwa kakak saja yang boleh berjilbab sementara aku bebas melakukan apapun yang kumau. Selama masih dalam batasan norma tentunya. Aku ingat papa dan mama mewanti-wanti kakak untuk tidak mendesakku melakukan sesuatu yang akan membuatku meninggalkan hal-hal yang berguna bagiku. Menari, menyanyi, berenang dan lainnya lagi. �Kalau kamu ingin mengerjakan sesuatu, jangan ajak adikmu. Dia masih kecil.�
Aku kecil. Tapi, aku rasa tidak sekecil itu. Meskipun aku tidak berjilbab, mulai hari itu aku memutuskan untuk menuruti apa yang sudah kupelajari. Untuk tidak mengenakan pakaian yang terlalu minim dan tidak berpacaran.
Alhasil, entah bagaimana aku malah menjadi agak kaku dengan anak laki-laki. Bahkan secara perlahan membentuk kepribadian yang kurang fleksibel, khususnya dengan mereka yang tampaknya mencoba mendekati. Aduh. Langsung timbul satu fobia untuk menjauhi.
Maka, ketika si anak baru sering memanggil dari kejauhan dan bertanya, �Kamu mau pulang denganku hari ini?� Dalam hati aku berkata iya, tapi di bibir aku mengatakan tidak. Sedih juga.
Dan perlahan hubungan kami merenggang dan dia mulai terlihat sebal. Seperti ketika kami sama-sama menjadi kakak kelas yang ditugaskan menjadi mentor anak baru.
�Temani aku ajak anak-anak atas turun�, katanya
�Kenapa harus aku? Kan ada yang lainnya�
�Yang lain sibuk�
�Aku juga sibuk�
�Kamu sibuk apa? Dari tadi hanya berdiri di sudut lapangan sini�
�Aku sedang mengawasi anak-anak berbaris�
�Sudah banyak yang mengawasi�
�Kurang banyak�
�Apa susahnya sih kalau kamu menemani aku ke atas sebentar?!�
�Apa susahnya sih kamu cari anak lain buat menemani kamu ke atas?! Lagian kamu kan ada teman jaga sendiri�. Aku ngotot
�Dasar keras kepala!�
�Kayak kamu gak aja!�
Lalu tiba-tiba terjadi sesuatu di luar dugaan. Dengan wajah gusar, dia meraih tanganku dan memaksaku pergi dengannya. Aku banyak mengumpat, memukuli lengannya, dan nyaris terseret olehnya ketika kemudian tampaknya dia menyadari kesalahannya. Berhenti di tempat dia memunggungiku, mendelik sekilas ke arahku sebelum berjalan sendiri menjauhi tempatku berdiri.
Kalau tidak salah itu pertama kalinya kami berantem. Dan entah kenapa seperti menjadi suatu tradisi setiap kali kami saling bertegur kata, alih-alih yang terjadi kami malah bersilat lidah. Terutama di kelas tiga ketika tahu-tahu kami sekelas. Selalu saja kami kesal antara satu sama lain. �Kamu cewek paling menyebalkan yang aku tahu!� Dan aku bilang, �kamu cowok yang paling menyebalkan yang aku tahu!� � Lalu dengan kasar dia pernah bilang, �kamu bodoh!� dan aku bilang, �kalau begitu kamu lebih bodoh dariku! Mengalahkan aku di kelas saja tidak bisa�. Aku memang juara kelas, sementara dia rangking tiga.
Sayang. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Benar-benar tidak ada.
Dia kemudian berpacaran dengan gadis lain. Teman sebangkuku. Wah, hebat. Tambah sering kami berantem hanya gara-gara setiap habis istirahat dia tidak mau beranjak dari kursiku. Dia duduk di sana dengan tangan dilipat di dada, sementara aku mendorongnya pergi.
Hanya satu kali kami sedikit berdamai ketika ia suatu kali merebut dompetku dan membukanya. Dia lebih tinggi dariku dan itu membuatku tidak mampu menjangkau foto yang kemudian dia keluarkan.
�Siapa nih?� tanyanya dengan setengah mengejek, �adikmu?� Ingin rasanya aku menangis. Aku mulai berteriak, �cepat kembalikan! Ayo kembalikan! Itu fotoku!�
Begitu marahnya aku padanya sampai aku merasa perlu duduk. Dia duduk di sisiku dan memperhatikan wajahku. Aku jadi merasa terganggu. Dengan galak aku menghardiknya, �Kenapa?!� �Ada yang salah dengan wajahku?!�
Menatap sekilas fotoku, dia menatapku lagi dan berkata, �sama sekali tidak. Aku pikir kamu jauh lebih cantik dari fotomu.�
Aku sama sekali tidak menyangka itu yang akan dikatakannya. Tanganku tiba-tiba gemetar dan aku terus menunduk menatap ujung sepatuku. Agak lama kami duduk bersisian dalam diam sebelum aku mengambil foto dari tangannya dan beranjak pergi.
Kalau dipikir, dia cinta pertamaku. Ada juga beberapa kisah lain yang hebat dan membawa kenangan tentang orang-orang istimewa di masa kemudian. Tapi, aku rasa dia tidak akan tergantikan karena dia yang mula-mula membuatku tidak sanggup berpikir jernih, yang memiliki sejumlah kisah sungguhan denganku, hingga pasti tidak kulupakan.
Terakhir aku bertemu dengannya dalam suatu reuni kecil sekolah. Dan dia mengatakan, �rasanya aku mengenalmu. Kita tampaknya dulu dekat. Apa benar begitu?� Dan aku hanya menatapnya sambil tersenyum dan pelan menjawab, �dulu kita memang saling kenal. Tapi, aku rasa tidak terlalu dekat,� sebelum aku meninggalkannya dengan tanda tanya siapa diriku.
Ah sahabat,
Dia bahkan tidak ingat pada mantan pacarnya sendiri, teman sebangkuku. Jadi, aku rasa aku perlu bersyukur karena tidak pernah jadian dengannya. Siapa tahu akunya saja yang merasa kami pernah memiliki hubungan yang unik, padahal sebenarnya tidak. Siapa tahu dia dulu sering mengajakku pulang bersama karena hanya ingin ditemani saja.
Aku mungkin terlalu na�f. Entahlah.
Kadang aku berpikir anak-anak laki-laki hanya tertarik padaku karena taruhan, baru putus cinta hingga mencari pelampiasan, atau sekedar ingin membuktikan bahwa mereka bisa mendapatkan gadis yang kabarnya tidak pernah pacaran dengan orang itu.
Tentu saja aku perlu berbaik sangka kepada orang. Maka aku tidak ingin ambil pusing soal tersebut.
Bahkan aku tidak mau ambil pusing pada kenyataan bahwa saat ini sepertinya aku jatuh cinta lagi pada seseorang. Pasalnya, aku tahu pasti kalau laki-laki ini sama sekali tidak tertarik padaku dan kami tidak akan pernah menjadi lebih dari sekedar teman.
Selama ini aku takut jatuh cinta. Takut patah hati, tidak percaya pada setiap perkataan manis yang kudengar.
Tapi, laki-laki ini tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu. Dia hanya seorang biasa yang bersikap baik pada semua orang.
Jika kurenungkan, Allah memberikan hati kepada kita untuk merasakan sebentuk cinta yang ganjil terhadap orang yang berbeda dari kita. Aku sering khawatir bahwa aku akan melewati batas hanya karena pengaruh keinginan kuatku yang tidak baik. Tapi, orang bilang di usiaku sudah sewajarnya aku mulai merasakan cinta pada seseorang.
Yah. Aku tahu. Tidak pantas aku memupuknya. Karena cinta ini tidak akan mengarah ke mana. Tapi, ada syukur di dalam diriku bahwa Allah memberiku kesempatan merasakan sesuatu yang indah, yang menghangatkan hati.
Setiap kali aku melihatnya atau sepintas mengingatnya, segera kupejamkan mata dan mengucap istighfar. Tidak ingin hatiku ternoda oleh perasaan yang satu ini.
Aku tetap akan berteman dengannya. Aku tahu. Sekedar memilikinya sebagai teman sudah menyenangkan bagiku. Dan kisah-kisah masa lalu yang penuh dengan surat cinta, boneka, kado misterius, bunga, salam, dan sisipan kertas kecil dalam buku hanya akan menjadi penghangat jiwa yang semakin membuatku dewasa.
Cinta.
Aku berterima kasih padamu telah mempertemukan aku pada sosok-sosok yang hebat. Mulai hari ini aku akan berusaha untuk lebih membuka diri, berani menerima tantangan yang kamu berikan.
Semoga kelak akan kutemui dia yang selama ini menantiku dan kunantikan juga. Kuharap kami akan membangun satu jalinan kasih yang erat yang membawa kami menyusuri jalan Illahi selamanya. Kalaupun kami tidak pernah bertemu, takkan kusesali seluruh langkah yang telah kulalui.
PS: teruntukmu sahabat. Terima kasih telah mendengarkan
(Nadiah Abidin@)
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dan mari kita tunjukan bahwa kita adalah bangsa yg beradab..
Terimakasih