Senin, 06 Agustus 2012

Terpaksa Mendua

Oleh: Raelita Wahyu | 04 August 2012 | 19:43 WIB

Bandung malam hari, cuacanya begitu bersahabat. Angin sepoi menemani aku yang tengah duduk saling berhadapan dengan dia. Suasana kafe ini yang cukup hening dan temaram membuat kami sedikit canggung, sampai dia, abang mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut. "will you marry me?". Aku menahan nafas. Aku, seorang gadis berusia 24 tahun dan aku dilamar!
***
Aku menuju parkiran tempatku bekerja. Sudah waktunya aku pulang, dan aku mengendarai motorku. Sejak tiga bulan yang lalu, aku terpaksa belajar mengendarai motor. Jadi kalau berangkat kemana-mana, aku bisa pergi sendiri. Sebelumnya tidak seperti ini, sebelumnya, aku punya ojek pribadi yang siap mengantarku kemanapun dan kapanpun. dia sering kupanggil mas Pram. Pacar terbaikku.
Jam tangan ripcurl biru-ku menunjukan pukul lima kurang lima belas menit. Belum terlalu sore, masih ada waktu untuk menemui mas Pram di rumahnya. Seperti biasa, aku pasti membawakan sedikit oleh-oleh buat mas pram dan Ibunya. Kemarin, aku sudah membelikannya buah duren, jadi hari ini aku coba membelikannya bubur ayam spesial. Kesukaan mas pram dulu.
"Assalamualaikum, Bu ini Ratih." Aku mengetuk pintu sesampainya di rumah mas Pram.
Sesaat kudengar ada yang menyahut dari dalam, suara Ibu. Tak lama, pintu terbuka. "ayo masuk sayang,, gimana kerjaanya di kantor?" seperti biasa Ibunya mas Pram selalu ramah padaku.
Aku mencium tangan Ibu. "Alhamdulillah Bu, lumayan lancar, nggak dimarahin bos lagi kayak kemarin hehe .."
Ibu tersenyum, "Ya sudah atuh, yuk masuk ah. Pram udah nunggu."
"haha, mas Pram kayaknya kangen berat sama Ratih ya bu? Eh iya, ini Ratih bawa bubur ayam buat Ibu sama mas Pram.." aku menyerahkan bungkusan plastik berwarna putih.
Lagi-lagi ibu tersenyum "Makasih sayang, kamu baik sekali. Ayo,,, masuk."
Rumah mas Pram cukup luas, di dekat dapur terdapat taman yang cukup asri dan menyenangkan. Kalau cuaca cerah, aku dan mas pram biasanya melihat bintang di sana. Dan sudah bisa kutebak, mas Pram tengah duduk di taman memandang ke atas.
"Mas Praaaaaaaaaaammm!!" teriakku mengejutkannya. Aku memeluknya erat dari belakang. Dia tersenyum manis sekali. Aku memutar badan sehingga berhadapan dengan mas. Aku berlutut di hadapannya, melihat matanya. "Mas apa kabar hari ini? Sehat?"
Lagi-lagi mas tersenyum. Aku balas senyumannya. "Mas mau dengar cerita aku hari ini?"
Dia mengangguk, dan sorot matanya menyiratkan keantusiasannya. Mas Pram memang selalu begitu, dia tak pernah mau melewatkan cerita hari-hariku yang biasanya dipenuhi dengan adegan konyol dan sedikit berbahaya hehe. Aku lantas berdiri dan mendorong kursi roda masPram menuju sebuah bangku di tengah taman.
Aku memulai bercerita, "Hari ini .. aku nggak kena marah bos lagi, tapi lebih tepatnya aku kena damprat customer. Dia ngambek-ngambek gitu lah. Nggak tau apa Ratih lagi sensi. Yowiss aja Ratih jutekin. Eh dia malah mencak-mencak nggak terima dan niat mau ngadu sama bos. Beruntung, mas. Si bos lagi ke Singapur hihihi."
Mas Pram tersenyum. Matanya menyipit. Kemudian aku mulai ngaler ngidul cerita apa saja yang penting bisa membuat mas Pram tersenyum dan sembuh lagi seperti dulu. Seperti tiga bulan lau. Sebelum kecelakaan itu. Sebelum takdir mengubah mas Pramku menjadi seperti ini.
"Ma .. ma." Tiba-tiba mas Pram mengeluarkan beberapa kata yang belum bisa kudengar jelas.
"Kenapa mas?"
"Ma .. ma.. hiii.. ma ha??" mas Pram menyelesaikan pertanyaannya dengan terbata dan susah payah. Aku mencoba mnerjemahkan.
"Oh, mama gimana kabarnya??"
Mas Pram mengangguk. Sejenak aku menghela nafas memandang ke langit tanpa bintang.
"Tih, Pram gimana kabarnya?" Malam itu, beberapa hari yang lalu mama bertanya padaku.
"Alhamdulillah semakin membaik ma.. sekarang masih terapi-terapi gitu. Udah bisa duduk."
Mama kemudian duduk di sampingku. Di sofa ruang tengah di depan televisi. "Jadi dia belum bisa kerja lagi?"
Aku menggeleng pelan. "Belum ma,, seluruh badannya masih lumpuh. Dan setelah terapi terus menerus selama dua bulan itu, dia baru bisa berkedip, mengannguk, menoleh sedikit, bicara dan duduk. Untuk menggerakan tangannya saja mas pram belum bisa, apalagi untuk mendesain sebuah interior??"
Mama menarik nafas panjang. "Sudah waktunya kamu membuka mata, Ratih."
Aku menoleh ke samping, ke arah mama.
"Masih banyak lelaki yang lebih baik yang nunggu kamu." Mama menatap mataku dalam.
Keningku berkerut. "Nggak semudah itu dong ma. Mas Pram lagi sakit!! Giliran senangnya, kita bareng-bareng, masa giliran dia sakit, aku ninggalin dia gitu ajah?? Mama nggak etis banget deh. Lagian Ratih nggak mungkin ninggalin orang yang Ratih cintai sendirian."
Mama menatap kosong pada televisi yang tengah menayangkan sinetron yang sedikit tidak berguna."Pada akhirnya nanti, seorang wanita akan memilih kepastian masa depannya ketimbang cintanya yang tidak pasti .."
Aku berusaha membantah tapi sebelum itu, mama berujar lagi. "inget ratih, kamu sudah 24 tahun .." kemudian mama beranjak menuju kamar meninggalkan aku terpekur sendiri.
"Mama baik-baik aja mas .." Aku mencoba tersenyum.
Mas Pram menatap lekat mataku, mencoba mencari apa yang disembunyikan senyum manisku barusan. Aku jadi sedikit salah tingkah lantas mas Pram tersenyum.
"aduhh,, mas jangan liat aku kayak gitu lah. Malu nihhh .." Aku mencoba mengalihkan perhatian.
Mas Pram masih memandangku. "Haa .. riii.. laa gihhh"
Aku tak mendengar jelas "Apa mas?"
"Ka .. muh. Haa rii laa gihh." Mas Pram terlihat ngos-ngosan. Rahang mulutnya yang belum bisa bekerja sempurna menjadi penyebab apa yang dia bicarakan tidak begitu jelas.
Aku mulai bisa menangkap arah pembicaraan ini kemana. Ya, mas Pram sudah tahu apa yang akan terjadi antara aku dengan dia. "Mas mau aku cari pacar lagi?"
Dia mengangguk pelan dan terus mengangguk, mencoba meyakinkan aku bahwa mas Pram mengizinkan atau lebih tepatnya merelakan aku menduakannya. Aku hanya bisa menahan air mataku sesekali aku menyekanya. Mas pram terus mengangguk, menatapku, matanya menyiratkan ketulusan.
***
Tidak mudah bagiku untuk bisa berpaling begitu saja kepada lelaki lain, sementara di seberang sana ada seonggok bagian dari hatiku yang tengah kesepian, kesakitan dalam kesendirian dan ketidak berdayaan. Saking tidak berdayanya, seonggok hati itu mampu merelakan untuk ditinggalkan. Tapi cintaku tidak seperti itu, bukan yang seperti itu.
Tujuh tahun bersamanya, bukan waktu yang sedikit. Masa-masa kelam penuh perjuangan, masa-masa bahagia pernah dia bagi denganku. Saat dia diterima bekerja di salah satu konsultan desain interior yang sangat dia inginkan, aku orang pertama yang dia hubungi. Saat nerima gaji pertama, aku orang yang pertama dia kasih surprise. Mas Pram dan aku sering membangun dan merencanakan mimpi-mimpi kami berdua, indah, indah sekali semua tentangnya.
Ingat sekali, waktu dua tahun yang lalu, aku pernah divonis dokter mengidap penyakit paru-paru dan harus benar-benar disiplin berobat juga menjaga kesehatan. Saat itu, saat orang lain menjaga jarak denganku karena takut tertular, hanya mas Pram, ibunya dan mama yang masih mau menyayangiku. Mas Pram dengan telatennya, tiap pagi selalu mengecek apa aku sudah minum obatnya apa belum. Sudah berjemur apa belum? Mas Pram membelikan aku masker hidung bermotif sponge-bob. Membelikan aku seperangkat alat makan bermotif sponge bob juga, dia bilang, biar virus ku, nggak nyebar kemana-mana. Sampai aku benar-benar sembuh total, mas Pram selalu di sampingku, menyemangatiku, nggak pernah ninggalin aku.
Dan sekarang,, saat mas Pram tengah berjuang dengan hidupnya gara-gara kecelakaan motor, apa benar aku harus meninggalkannya? Kata-kata mama juga mas Pram yang meminta aku mencari pacar lagi akhir-akhir ini semakin jelas membayangi telingaku. Sampai pada akhirnya aku tidak bisa menahan gaungan suara-suara itu. Aku menyerah dan ya, aku putuskan mencari sosok selain mas Pram dengan berat hati (dibaca: sangat-sangat berat hati cenderung, tidak ingin). Mama benar, aku sudah 24 tahun, saatnya memikirkan masa depan.
Dari sekian kandidat, hanya ada satu orang yang mau menerima syarat sebagai pacarku. Syaratku adalah mau menerima bahwa aku sudah mempunyai pacar yang sangat aku sayangi yang kini tengah tidak berdaya berjuang untuk hidupnya. Kata lain dari syarat ini, RELA DIDUA. Karena pada kenyataanya, aku nggak mau ninggalin mas Pram, aku masih ingin menemani dia sampai dia bisa benar-benar berdiri sendiri seperti dulu. Aku juga tahu, tidak mungkin selamanya kau menemani mas Pram, apalagi dokter yang merawat mas Pram hanya geleng kepala saat ditanya, kapan masku sembuh?.
Namanya Reza. Aku panggil dia Bang Eza. Bang eza, salah satu customerku dulu, entah ada angin dari mana dia bisa menyukai aku dan mau menjadi pacar keduaku. Abang orangnya baik, dewasa, mapan dan terbuka. Membuat aku cukup nyaman untuk sekedar berbagi tentang kegelisahan aku mengenai mas Pram.
Sejak berpacaran dengan abang, dia tak pernah absen menanyakan keadaan mas Pram. Dengan antusias aku selalu bercerita, dan abang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kamu penyayang sekali." Suatu hari abang nyeletuk.
Aku hanya tersenyum.
"Itulah kenapa, aku sangat-sangat menyayangimu" Abang melanjutkan.
Aku tersenyum lagi. "Terimakasih abang".
Mas Pram sendiri tahu bahwa aku sudah punya pacar lagi, dan dia tersenyum. Tapi aku sudah berjanji pada diri sendiri atau pada mas Pram bahwa aku nggak mau ngomongin soal abang. Yang aku ingin bicarakan hanya aku dan mas Pram. Mas Pram semakin segar sekarang. Setiap weekend, aku selalu mengajaknya keliling kompleks. Duduk di taman di tepian danau, bercerita dan berbagi segala hal. Tuhan, aku menyayanginya!!
Hingga akhirnya, malam ini datang ..
Aku di ajak abang berkeliling Bandung tanpa diberi tahu mau kemana. Dengan Toyota Rush miliknya, kita menmbelah malam kota Bandung yang cantik dengan gemerlapnya. Tibalah kita di sebuah kafe di daerah Bandung atas dengan suasananya yang sejuk, hening dan temaram. Alunan biola dan piano mengiringi kami masuk ke dalam. Salah seorang pramusaji menunjukan tempat yang kiranya sudah abang booking. Posisi yang terbaik menurutku. Dua buah kursi di letakkan berhadapan dengan cahaya lilin yang meliuk-liuk. Pemandangan yang langsung bisa kita lihat dari balkon ini tempat kini aku duduk, merupakan pemandangan bandung malam hari yang indah. Menakjubkan. Dan yang lebih menakjubkannya lagi. Pengunjung kafe ini, hanya aku dan Abang!! abang membooking ini semua buat ..
"Ini semua buat kamu, Ratih." Ucap Abang pelan.
Mataku menyipit, tersenyum. Abang mengajakku duduk.
"Abang, ngapain sih pake booking kafe segala. Boros tauuu" Aku mencibir.
Abang hanya terkekeh. "Momen spesial, tidak boleh dilewatkan begitu saja."
Keningku berkerut. "Momen spesial? Apa? Abang naik jabatan? Atau lagi ulang tahun?" pertanyaan yang membuktikan bahwa aku belum sepenuhnya memberikan perhatian pada abang.
Abang tersenyum dan menopang dagunya dengan keduatangannya, memandangku. "Kamu cantik, kamu baik, kamu memiliki semua yang aku butuhkan .."
Aku belum mengerti.
Abang meraih tangan ku, meremas jari-jariku pelan. "Aku sayang kamu."
Aku hanya tersenyum dan menunduk. Sedikit canggung dan ..
"Will you marry me?" Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirnya. Aku mencoba mengalihkan pandangan, menggigit bibirku dan terisak. Aku, gadis 24 tahun dan aku dilamar!!
***
Kemarin adalah malam yang panjang, aku sudah membicarakannya dengan mama dan mama menyerahkan semua keputusan padaku. Aku putuskan menemui mas Pram sekarang. Mataku yang sembab, menjadi perhatian ibunya mas Pram saat aku tiba di rumahnya. Tapi aku hanya bilang nggak apa-apa dan segera menemui mas Pram. Mas Pram tengah duduk di bangku taman, bukan di atas kursi roda seperti biasa. Aku memeluknya, langsung memeluknya erat. Dia terkejut dan memasang muka kebingungan. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa menangis. Mas Pram kesal, karena dia tidak bisa berlaku selayaknya lelaki yang melihat kekasihnya menangis. Wajahnya memelas agar aku berhenti menangis dan bercerita semuanya.
Tangisku mereda, aku membenamkan mukaku di dadanya, memeluknya erat, memeluk tubuhnya yang kaku dan didominasi suhu dingin. Mas Pramku setengah mayat. Apa aku tega meninggalkannya sekarang?? Aku menangis lagi. "Maafkan aku mas,, maafkan aku ..".
Mas Pram bergeming. Untuk sekedar membelaiku saja dia nggak bisa, apalagi memeluku menenangkan aku. Ssetelah aku cukup kuat, aku pun mulai berbicara. "Mas, aku akan menikah .." Aku kembali menangis.
Mas Pramku diam, aku terus menunduk di samping mas Pram. Andai kau sembuh mas,, andai kau sembuh semuanya tidak akn berakhir seperti ini. "Maafkan Ratih, mas."
Kurasakan tubuh masPram bergetar hebat. Menahan tangis. Perlahan aku merasakan jari-jari dinginnya menyeka tangisku.

Sent from my BlackBerry®

powered by Sinyal Kuat INDOSAT

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dan mari kita tunjukan bahwa kita adalah bangsa yg beradab..
Terimakasih