14-02-2011
Tiba-tiba ada tangan lembut yang memegang tanganku lalu menariknya, "ayo ikut gue sat, gue mau nunjukin sesuatu sama lu", ucap gadis cantik yang kukenal sejak 2 tahun yang lalu, Luna. Sore itu dia kelihatan aneh, tak seperti biasanya dia mengajakku ke taman sekolah. Tingkahnya pun kali ini berbeda, tak seperti biasanya, sesekali sat ia menggiringku ke taman, ia menoleh ke arahku dan memberikan senyumnya yang manis yang sangat jarang ditemui seblumnya.
"Mau ngapai Lun?" Tanygue penasaran kepadanya. "Ada deh, ntar lu juga bakal tau Sat, sabar ya." jawabnya dengan lembut dan serasa memberiku sedikit rasa lega. Rasa penasaranku semakin besar ketika banyak sahabatku berada di taman, melihatku dating bersama Luna.
"Eh Zak, ada apa nih? Kok rame rame?" tanygue pada sahabat baikku, Zak. Namun bukan jawaban yang ku dapat, hanya senyum penuh Tanya yang kudapat darinya. "Byurr…" tiba-tiba tubuhku basah kuyup, ternyata Reza, Dika, dan teman-teman yang lain menyiramku dengan air. "Ah, sial, ngapain lu semua nyiram gue, dingin" "Selamat ulang tahun sat, hahaha, lu kan udah umur 17 tahun sekarang, enggk kerasa ya udah lama kita temenan, dan ini kali pertama lu gue siram" jawab Zak."Wah, bener-bener lu zak, Jadi lu yang ngerencanain semua ini?"
"Enggk lah, gue disini Cuma pelaksana aja, yang ngerencanain semua ini sebenernya Luna" jawab Zak sambil memberi isyarat kepadgue untuk mengucapkan terima kasih.
Tanpa piker panjang guepun mendekatinya, "Lun, thank's ya udah ngerencanain semuanya, ini pertama kalinya gue disiram air pas ultah gue" "iya Sat, sama-sama, tapi acaranya belum selesai lho, gue masih ada sesuatu buat lu" Tangannya pun masuk kedalam tas samping yang selalu ia kenakan, tas samping warna pink yang menjadi cirri khasnya. Dan saat ia mengangkat tangannya, nampaklah sebuah surat berwarna pink, dengan bingkai yang indah dengan tulisan "to: Satya" di depan. "Ini buat lu sat, gue sendiri yang nulis". Seketika kuambil surat itu,"Boleh kubaca Lun?" Ia hanya menjawab dengan anggukan, tanpa sepatah katapun terucapd ari bibirnya ayng merah merona.
Perlahan tapi pasti, kubuka surat itu hingga kudapatkan secarik kertas dengan tulisan tangan yang rapi, ya, itu jelas tulisan Luna sendiri.
Bumi dan langit memang terpisah, namun dahulu mereka satu,
Air dan api seperti tak mau bersatu, namun mereka saling melengkapi,
Gue terbiasa ada disampingmu hingga gue tak sadar tlah jatuh cinta padamu,
Jangan kau Tanya mengapa karna guepun tak tahu mengapa rasa ini tumbuh,
Semua ini kulguekan, hanya untuk lu.
Sontah gue terdiam, keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Detak jantungku semakin kencang menambah rasa grogiku.
"Lun, lu serius?" tanygue untuk meyakinkan diriku,
"Iya Sat, gue serius tentang isi surat itu"
Tak pernah tefikir olehku, gadi secantik Luna, menyukai pemuda sepertiku. Pemuda sederhana yang tak punya harta berlimpah, pemuda sederhana yang tak pernah tau bagaimana rasanya pacaran, pemuda biasa yang gugup bila harus ngobrol berdua dengan gadis. Dalam benakku timbul pertanyaan, apakah gue pantas untuk dia? Gadis secantik itu, maklum, dia adalah Putri di sekolahku, dia pintar, baik dan tidak sombong. Seperti dalam mimpi saja bila tiba-tiba ia menyatakan cintanya padgue.
"Lun,…lu cantik, lu pintar, lu baik, lelaki manapun pasti bahagia bila menjadi pasanganmu, beruntung lelaki yang lu sukai, tapi maaf Lun, gue enggak bisa, kita beda….iman kita beda…gue enggk mau pada akhirnya kita pisah gara-gara beda iman, gue lebih baik berhenti disini daripada harus berpisah saat gue udah cinta lu dalam banget, gue harap lu mengerti Lun"
Bukan lagi kata-kata yang berbicara, tapi air mata yang berbicara. Air matanya menetes melewati pipinya, dia hanya tertunduk. Hingga beberapa saat kemudian, ia pun berlali, entah kemana ia menuju. Guepun terdiam tanpa bisa mengejarnya. Teman-teman yang tadinya ceria, kini hanya diam terheran-heran akan jawaban yang gue berikan. Ya, pemuda sederhana sepertiku menolak cinta gadis yang banyak pemuda lain anggap sempurna. Tapi ini adalah keputusanku.
17-02-2011.
Setelah kejadian sore itu, Luna tak pernah datang ke sekolah, ia absen beberapa hari. Teman-temanpun bingung akan sikapnya. Di sms, telpon, dan dikunjungipun ia tidak ada. Kemana dia? Mungkin waktu yang akan menjawabnya.
Sementara gue, masih tetap dengan kesendirianku seperti dulu, menikmati hari-hari dengan teman-teman serta bolpoin dan kertas yang menjadi tempatku menuangkan inspirasiku yang berupa puisi.
Siang itu cuaca sangat panas, entah mengapa hari itu gue memikirkan Luna jauh dari biasanya. Ku tatap secarik kertas kosong yang ada di tanganku,mencoba menerka apa yang akan tertulis disana. Hingga akhirnya kutulis sebuah puisi yang berjudul Dua dunia.
Cintamu sempurna,
Namun dunia kita berbeda
Kita bagikan dua pulai yang dipisahkan samudra,
Bagaikan tebing tanpa jembatan,
Kita terpisah tanpa ada cara untuk bertemu,
Hanya pandangan mata yang dapat memberi insyarat,
Ingin mendekatpun kita tak mampu,
Ada jarak yang memisahkan antara kau dan gue,
Sungguh pilu rasa yang ada di hati ini,
Ingin mendekat namun sakit yang kudapat,
Ingin ku mencintai, namun hanya perih yang akan menghiasi,
Luna…
Beginilah cargue mengungkapkan isi hatiku, tak seperti pemuda lain yang mengungkapkan isi hatinya melalui gombalan yang selalu baru setiap hari. Gue terlalu pemalu untuk mengucapkan kata-kata ini di depan orang lain, terutama gadis.
Tak lama bel pulang pun berbunyi, guepun segera bergegas pulang. Kali ini gue pulang lewat jalur lain, gue pulang melalui jalur rumah Luna, entah apa yang menggiringku, tapi gue tetap mengarahkan kemudiku kesana.
Gue terkaget, saat kulewat di depan rumahnya. Mobil yang biasa mengantarkannya tak lagi ada di depan rumahnya, sepertinya ia pindah rumah. Tapi mengapa? Mugkin lagi-lagi waktu yang akan menjawabnya.
Malam Perpisahan
Tiga tahun berlalu, kini masa indah di sma pun segera berakhir. Seragam abu-abu dengan tingkah semaunya, serta canda tawa yang selalu menemani hariku bersama kawan-kawanku mungkin akan berbeda setelah ini. Ya, malam ini adalah melam perpisahan kelas XII. Banyak air mata kegembiraan malam ini, karna kami akan melanjutkan perjalanan kami meraih cita-cita dan impian yang kami punya.
Namun tak sedikit pula air mata kesedihan yang meneter, air mata yang menetes karna kami tlah terbiasa bersama, kami tlah terbiasa berbagi, dan kami tlah terbiasa untuk saling mengisi stu sama lain.
"satu…dua…tiga…cheese..", Ucap temanku yang kami mintai tolong untuk memfotokan kami. Gue, Zak, Ibal, Maul, dan Dana, kami adalah 5 sekawan yang mempunyai impian masing masing, tapi kami selalu melangkah bersama untuk mencapai impian kami, setidaknya sampai malam ini. Zak yang ahli di bidang olahraga, terutama volly akan melanjutkan kuliah Olahraganya, maklum dia adalah pemain volly terbaik di sekolahku. Berbeda dengan Zak, Ibal akan melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas ternama di Surabaya, kemampuannya di bidang komputer menjadikannya selalu up to date dalam hal perkembangan teknologi. Maul, dia sebenarnya jago futsal, dia keeper yang handal, hampir setiap pertandingan yang ia ikuti, ia selalu mendapat kemenangan, namun entah angin apa yang berhembus padanya hingga ia berniat menjadi seorang dokter, lebih-lebih dokter kandungan. Kalo si Dana sih, sudah jelas kemana ia mau ngelanjutin sma, dia udah ngebulatin tekad sejak kelas XI, dia mau ngelanjutin ke sekolah tinggi guetansi yang ada ikatan dinasnya. Dan gue sendiri, bisa ditebak, gue mau ngelanjutin ke universitas ternama di Indonesia jurusan sastra perancis, gue emang suka banget yang namanya sastra, apalagi sastra perancis. ada kebanggaan tersendiri buat gue.
Gemerlap sinar lampu menghiasi malam ini, semakin larut kami dalam suasana kegembiraan, seteguk demi seteguk minuman kami nikmati, hingga akhirnya seorang teman kami membacakan sebuah puisi diiringi alunan musik yang mengajak kami mnyelami puisi tersebut lebih dalam.
Hari ini kuberdiri bersama kalian kawan,
Baru sebentar kita bersama namun kita tlah terbiasa,
Kita lewati hari dengan saling tertawa,
Kita saling mengisi disaat yang lain membutuhkan,
Kita berbeda namun kita tetap melangkah bersama,
Bukannya aku tak mau terus bersama kalian,
Tapi kita punya mimpi yang harus kia capai,
Ya, mimpi kita yang kita pegang sejak kecil,
Hei, kawan,
Setelah ini mungkin kita takkan bisa sering bersama,
Setelah ini mungkin kita akan sibuk dengan urusan kita,
Tapi itu bukan masalah, berjanjilah, berjanjilah,
Berjanjilah saat kita bertemu suatu saat nanti,
Kita akan bertemu sebagai orang yang sukses yang tlah mencapai mimpi kita,
Hei kawan,
Air mata kalian terlalu berharga untuk menetes saat ini,
Biarkan air mata kalian menetes, saat kalian tlah mencapai mimpi kalian.
Sontak suasana yang tadinya ramai dengan pembicaraan, kini sunyi menghayati puisi yang dibacakan oleh Lukman. Pemuda berparas tampan ini memang tak perlu diragukan kemampuannya dalam memukau pendengar.
"guys, abis ini kita mungkin enggak sering ketemu, tapi gue harap, kita tetep saling inget satu sama lain", Ucap ibal memulai pembicaraan.
"yoi, kita adalah lima sekawan yang akan meraih mimpi kita masing-masing, kita adalah lima sekawan yang akan membanggakan orang-orang disekitar kita", ujar Dana penuh semangat.
"Kalau kita sudah sukses nanti, jangan lupa darimana kita berasal", ucapku kepada kawan kawan setiaku.
Malam pun semakin larut…namun acara perpisahan ini semakin meriah….sebuah malam yang indah, di penghujung masa putih abu-abu.
Paris, 14-02-2017
"kriinggg……04.45…" Bunyi alarmku pagi ini begitu keras hingga aku terbangun dengan sedikit rasa pusing. Pasti karen tadi malam aku tidur terlalu larut dan aku takut tidak bisa bangun pagi hari ini.
Sudah dua tahun sejak aku menjadi penulis pada suatu majalah di Paris, masih terasa seperti mimpi. Apa yang aku cita-citakan sejak dahulu kini menjadi kenyataan. Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu kawan-kawanku, entah bagaimana kabar mereka.
Suasana disini cukup nyaman, cukup membuatku betah untuk berlama-lama di negeri yang begitu kental dengan aroma kebebasannya ini. Orang orangnya pun cukup ramah, namun sayang, aku agak kesulitan menemukan masjid, maklum lah, mayoritas umat disini bukan Islam.
Dua tahun aku di paris, banyak sekali teman yang kudapat, salah satunya adalah Zef. Dia adalah pimpinan sebuah penerbit buku di Paris, Zecrife Expresse.
Dia menawariku untuk membuat buku kumpulan puisiku, sungguh tawaran yang menarik buatku. Karenanya aku berusaha menghasilkan puisi setiap hari, satu hari untuk minimal satu puisi. Contohnya saja puisi yang apabila diartikan ke bahasa indonesia berjudul:
Rembulan Tanpa Sinar
Kelam malam yang menyelimuti bumi,
Sepoi angin yang menyelimuti,
Dingin udara yang masuk ke dalam dada,
Semua bergabung menjadi satu menambah ketakutanku,
Dingin..dingin dingin..
Semakin kruasakan suasana menjadi semakin dingin..
Sepi sepi sepi..
Hatiku semakin sepi tanpa ada suara..
Tangisan pun takkan mampu menghilangkan sepi di dalam hati..
Malam yang harusnya terangpun kini gelap gulita..
Sang rembulan kehilangan sianrnya…
Menjadikan ku buka arah..
Tak mampu kumelangkah lurus..
Gelap gelap gelap..
Aku butuh cahaya untuk melangkah..
Aku butuh cahaya untuk menerangi hatiku..
Aku butuh cahaya untuk emnghilangkan ketahukanku..
Tak bisa kuterka dimana kuberada,
Tak bisa kurasa apa yang kusentuh,
Tak bisa kuucap apa yang ingin kukatakan,
Aku dalam kekosongan yang sangat dalam,
Mencari sesuatu yang tak kutau pasti,
Mencari sesuatu yang mungkin takkan kutemui..
Wahai rembulan tanpa sinar,
Mengapa kau kehilangan sinarmu,
Tak taukah kau bahwa aku membutuhkan sinarmu,
Tak taukah kau bahwa sinarmu sangat berarti,
Hei rembulan tanpa sinar,
Mana kecantikanmu yang dulu kau pertontonkan,
Mengapa kau tetap ada bila tanpa sinar?
Masih merasa berhargakah dirimu tanpa sinar yang dulu selalu kau pancarkan?
Kau hilangkan sinarmu disaat aku mulai menyadari bahwa ku membutuhkannya,
Kau memupuskan harapanku,
Kau memupuskan harapan kami,
Hei rembulan tanpa sinar,
Apa yang ingin kau katakan,
Kami menunggu jawaban,
Jawaban atas tindakanmu yang membuat kami sengsara,
Wahai rembulan tanpa sinar,
Berilah aku jawaban….
(bersambung)
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dan mari kita tunjukan bahwa kita adalah bangsa yg beradab..
Terimakasih