Rumah ini - benar-benar gratis - hanya menjadi alasan yang ia butuhkan.
Dan sekarang, seminggu kemudian, di sini kami di Dark Falls, empat jam berkendaraan dari rumah kami, melihat rumah baru kami untuk pertama kalinya. Kami bahkan belum berjalan masuk ke dalam, dan Josh telah berusaha menyeret Ayah kembali ke mobil.
"Josh - berhentilah menarikku," bentak Ayah tak sabar, berusaha menarik tangannya dari genggaman Josh.
Ayah melirik tak berdaya kepada Mr Dawes. Aku bisa melihat bahwa ia malu dengan cara Josh. Aku memutuskan mungkin aku bisa membantu.
"Ayo pergi, Josh," aku berkata pelan, sambil meraih bahunya. "Kita telah berjanji bahwa kita akan memberi satu kesempatan pada Dark Fall- Ingat ?"
"Aku sudah memberinya kesempatan," rengek Josh, tak melepaskan tangan Ayah. "Rumah ini sudah tua dan jelek dan aku membencinya."
"Kau bahkan belum masuk ke dalam," kata Ayah marah.
"Ya. Mari kita pergi,." Desak Mr Dawes, menatap Josh.
"Aku tetap di luar," tegas Josh.
Ia kadang-kadang dapat benar-benar menjadi keras kepala. Aku merasa sama tak bahagianya seperti Josh saat melihat kegelapan ini, rumah tua. Tapi aku tak pernah melakukan cara Josh.
"Josh, kau tak ingin memilih kamarmu sendiri?" Tanya Ibu.
"Tidak," gumam Josh.
Dia dan aku sama-sama melirik ke lantai dua. Ada dua sisi jendela besar yang melanjur berdampingan di atas sana. Mereka tampak seperti dua mata gelap yang menatap kembali pada kami.
"Berapa lama Anda tinggal di rumah Anda sekarang?" tanya Mr Dawes kepada Ayah.
Ayah harus berpikir untuk sedetik.
"Sekitar empat belas tahun," jawabnya. "Anak-anak harus tinggal di sana sepanjang hidup mereka."
"Pindah itu selalu sulit," kata Mr Dawes simpatik, tatapannya beralih padaku. "Kau tahu, Amanda, aku pindah ke sini untuk Dark Fall hanya beberapa bulan yang lalu. Pada awalnya aku juga tak menyukainya. Tapi sekarang aku tak akan tinggal di tempat lain."
ia mengedipkan matanya padaku. Dia memiliki lesung pipit manis di dagunya ketika ia tersenyum.
"Mari kita masuk Ini benar-benar cukup bagus. Kau akan terkejut."
Semua dari kami mengikuti Mr Dawes, kecuali Josh.
"Apakah ada anak-anak lain di blok ini?" tuntut Josh.
Ia membuatnya terdengar lebih seperti sebuah tantangan daripada pertanyaan.
Mr Dawes mengangguk. "
Sekolah hanya dua blok jauhnya," katanya, sambil menunjuk jalanan.
"Lihat?" Ibu dengan cepat memotong "Satu jalan kaki yang pendek ke sekolah. Tak ada perjalanan bus yang lebih panjang setiap pagi."
"Aku suka bus," tegas Josh.
Pikirannya sudah bulat. Dia tak akan memberikan orang tuaku istirahat, meskipun kami berdua berjanji untuk berpikiran terbuka tentang langkah ini.
Aku tak tahu apa Josh berpikir ia harus mendapatkannya dengan menjadi seperti sakit. Maksudku, Ayah sudah memiliki banyak hal yang dikhawatirkan. Untuk satu hal, ia belum bisa menjual rumah lama kita.
Aku tak menyukai gagasan pindah. Tapi aku tahu bahwa mewarisi rumah besar ini adalah satu kesempatan besar bagi kami. Kami sangat terkekang di rumah kecil kami. Dan sekali Ayah berhasil menjual tempat lama itu, kami tak perlu khawatir sama sekali tentang uang lagi.
Josh setidaknya harus memberikan satu kesempatan. Itulah yang aku pikir.
Tiba-tiba, dari mobil kami di kaki jalan, kami mendengar Petey menggonggong, melolong dan membuat keributan.
Petey adalah anjing kami, terrier putih berambut keriting, lucu seperti suatu tombol, dan biasanya berperilaku baik. Dia tak pernah perduli jika di tinggal dalam mobil. Tapi sekarang dia menggonggong panjang, bersuara dengan suara penuh dan menggaruk di jendela mobil, sangat ingin keluar.
"Petey - Tenang Tenang" teriakku.
Petey biasanya mendengarkanku.
Tapi kali ini tidak.
"Aku akan biarkan dia keluar" kata Josh, dan bergerak menuruni jalan menuju mobil.
"Tidak. Tunggu dulu -" panggil Ayah.
Tapi kupikir Josh tak akan mendengarnya saat Petey meraung.
"Mungkin baik juga membiarkan anjing itu menjelajah," kata Mr Dawes. "Ini akan jadi rumahnya juga."
Beberapa detik kemudian, Petey datang menyerbu melintasi halaman, menendang daun coklat, menyalak dengan penuh semangat sambil berlari menghampiri kami. Dia melompat pada kami semua seolah-olah dia tak melihat kami dalam beberapa minggu dan kemudian, untuk mengejutkan kami, dia mulai menggeram mengancam dan menggonggong pada Mr Dawes.
"Petey - berhenti" teriak Ibu.
"Dia tak pernah melakukan ini," kata Ayah minta maaf. "Sungguh, biasanya ia sangat ramah."
"Dia mungkin mencium bau sesuatu padaku. Mungkin anjing lain," kata Mr Dawes, melonggarkan dasi bergarisnya, tampak waspada pada anjing kami yang menggeram.
Akhirnya, Josh menangkap pinggang Petey dan mengangkatnya menjauh dari Mr Dawes.
"Hentikan, Petey," omel Josh, memegang anjing itu ke dekat wajahnya sehingga hidung mereka saling berhadapan. "Mr Dawes adalah teman kita."
Petey merintih dan menjilati wajah Josh. Setelah beberapa saat, Josh menempatkannya kembali ke tanah. Petey menatap Mr Dawes, lalu menatapku, kemudian memutuskan untuk pergi mengendus-endus di sekitar halaman, membiarkan hidungnya menunjukkan jalan.
"Ayo masuk," desak Mr Dawes, ia menggerakkan satu tangannya melalui rambut pendeknya yang pirang. Dia membuka pintu depan dan mendorongnya terbuka.
Mr Dawes memegang layar pintu membukanya bagi kami. Aku mulai mengikuti orang tuaku ke dalam rumah.
"Aku akan tinggal di luar sini dengan Petey," desak Josh dari jalan.
Ayah mulai protes, tapi ia berubah pikiran.
"Oke. Baik," katanya, mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Aku tak mau berdebat denganmu. Jangan masuk ke dalam. Kau dapat hidup di luar jika kau inginkan."
Dia terdengar sangat putus asa.
"Aku ingin tinggal dengan Petey," kata Josh lagi, menonton hidung Petey yang menerobos alas bunga yang mati itu.
Mr Dawes mengikuti kami ke lorong, menutup perlahan layar pintu di belakangnya, memberikan Josh pandangan sekilas yang terakhir.
"Dia akan baik-baik," katanya lembut, tersenyum pada Ibu.
"Dia bisa sangat keras kepala kadang-kadang," kata Ibu meminta maaf. Dia mengintip ke ruang tamu. "Aku benar-benar menyesal tentang Petey, aku tak tahu apa yang terjadi pada anjing itu."
"Tak masalah. Mari kita mulai di ruang tamu," kata Mr Dawes, memimpin jalan. "Kupikir Anda akan terkejut betapa luas ruangan itu. Tentu saja, itu memerlukan pekerjaan."
Dia membawa kami satu perjalanan pada setiap ruangan di rumah. Aku mulai merasa senang. Rumah itu benar-benar rapi. Ada begitu banyak kamar dan begitu banyak lemari. Dan kamarku sangat besar dan memiliki kamar mandi sendiri dan satu kursi jendela bergaya kuno di mana aku bisa duduk di jendela dan melihat ke bawah pada jalan.
Aku berharap Josh masuk ke dalam dengan kami. Jika dia bisa melihat betapa besar isi rumah itu, aku tahu dia akan mulai terhibur.
Aku tak bisa percaya betapa banyak ruangan yang ada. Bahkan loteng penghabisan diisi dengan perabotan tua dan rak tua, kardus misterius bisa kita jelajahi.
Kita harus berada di dalam selama setidaknya selama setengah jam. Aku tak benar-benar memperhatikan waktu. aku pikir kami bertiga semuanya merasa terhibur.
"Yah, kupikir aku telah menunjukkan kalian semuanya," kata Mr Dawes, melirik jam tangannya. Dia memimpin jalan ke pintu depan.
"Tunggu - Aku ingin melihat kamarku sekali lagi," kataku penuh semangat.
Aku mulai menaiki tangga, menaiki dua tangga sekaligus. "Aku akan turun dalam hitungan detik."
"Cepat, Sayang aku yakin Mr Dawes memiliki janji lain,." Panggil Ibu setelahku.
Aku mencapai lantai dua dan bergegas menyusuri lorong sempit dan masuk ke kamar baruku.
"Wow"
Aku berkata keras-keras, dan kata itu bergema samar-samar pada dinding kosong.
Kamar ini begitu besar. Dan aku menyukai jendela yang menonjol dengan kursi dekat jendela. Aku berjalan keluar dan mengintip keluar. Melalui pepohonan, aku bisa melihat mobil kami di jalan masuk dan, di luar itu, sebuah rumah yang tampak mirip sekali seperti rumah kami di seberang jalan.
Aku akan menaruh tempat tidurku ke dinding yang di seberang jendela, pikirku senang. Dan mejaku bisa berada di sana. Aku sekarang akan memiliki ruang untuk komputer
Aku memandang lemariku lebih satu kali, satu jarak yang panjang dalam lemari dengan cahaya di langit-langit, dan susunan rak-rak lebar yang berlawanan di dinding belakang.
Aku sedang menuju ke pintu, berpikir tentang posterku yang mana yang ingin kubawa, saat aku melihat anak itu.
Dia berdiri di ambang pintu selama sedetik. Dan kemudian ia berbalik dan menghilang di ujung lorong.
"Josh?" Aku berteriak. "Hei - kemari lihatlah"
Dengan terkejut, saya menyadari itu bukan Josh.
Untuk satu hal, anak itu memiliki rambut pirang.
"Hei " panggilku dan berlari ke lorong, berhenti tepat di luar pintu kamarku, melihat ke dua arah.
"Siapa di sini?"
Tapi lorong yang panjang itu kosong. Semua pintu ditutup.
"Wah, Amanda," kataku keras-keras.
Apakah aku melihat sesuatu?
Ibu dan Ayah memanggil dari lantai bawah. Aku melihat untuk terakhir kali menyusuri gang yang gelap, kemudian bergegas untuk bergabung kembali mereka.
"Hei, Mr Dawes," aku memanggilnya saat berlari menuruni tangga, "apakah ini rumah hantu?"
Dia tertawa kecil. Pertanyaan itu tampaknya tampak lucu baginya.
"Tidak. Maaf," katanya, menatapku dengan mata birunya yang berkerut. "Tidak termasuk hantu. Banyak rumah-rumah tua di sekitar sini dikatakan angker Tapi aku takut ini bukan salah satu dari mereka..."
"Aku - kukira aku melihat sesuatu," kataku, merasa sedikit bodoh.
"Mungkin hanya bayangan," kata Ibu. "Dengan semua pohon itu, rumah ini begitu gelap."
"Kenapa kau tak lari keluar dan memberitahu Josh tentang rumah," saran Ayah, sambil menyelipkan bagian depan kemejanya. "Ibumu dan aku memiliki beberapa hal untuk dibicarakan dengan Mr Dawes."
"Ya, Tuan," kataku dengan sedikit membungkuk, dan menurut, berlari keluar untuk memberitahu Josh semua tentang apa yang telah dilewatkannya.
"Hei, Josh," seruku, bersemangat mencarinya di halaman. "Josh?"
Hatiku gelisah.
Josh dan Petey sudah pergi.
2
"Josh Josh"
Pertama-tama aku memanggil Josh. Lalu aku memanggil Petey. Tapi tak ada tanda-tanda dari mereka.
Aku berlari ke ujung jalan dan mengintip ke dalam mobil, tapi mereka tak ada. Ibu dan Ayah masih berada di dalam berbicara dengan Mr Dawes. Aku melihat sepanjang jalan di kedua arah, tapi tak ada tanda-tanda mereka.
" Josh, Hei Josh"
Akhirnya, Ibu dan Ayah bergegas keluar dari pintu depan, tampak gelisah. Kukira mereka mendengar teriakanku.
"Aku tak bisa menemukan Josh atau Petey" teriakku kepada mereka dari jalan.
"Mungkin mereka ada di belakang," seru Ayah kepadaku.
Aku menuju jalan masuk, menendang jauh daun-daun kering saat aku berlari. Ini adalah hari yang cerah di atas jalan, tapi begitu aku memasuki halaman rumah kami, aku kembali di tempat teduh, dan itu segera menjadi dingin lagi.
"Hei, Josh Josh - Di mana kau?"
Mengapa aku merasa begitu takut? Itu wajar bagi Josh untuk berkeliaran. Dia melakukannya sepanjang waktu.
Aku berlari dengan kecepatan penuh di sepanjang sisi rumah. Pohon-pohon tinggi miring ke atas rumah di sisi ini, menghalangi hampir semua dari sinar matahari.
Halaman belakang lebih besar dari yang kuduga, satu persegi panjang yang panjang miring secara berangsur-angsur turun ke pagar kayu di belakang. Sama seperti bagian depan, pada halaman ini banyak rumput-rumput tinggi, menyembul melalui suatu dedaunan cokelat yang tebal. Sebuah patung burung terguling ke samping. Selain itu, aku bisa melihat sisi dari garasi, gelap, bangunan dari batu bata yang cocok rumah.
"Hei - Josh"
Dia tak ada di belakang sini. Aku berhenti dan mencari jejak di tanah atau tanda bahwa ia telah berjalan melalui dedaunan yang tebal.
"Bagaimana?" Dengan terengah-engah Ayah berlari datang padaku.
"Tak ada tanda darinya," kataku, terkejut betapa dengan rasa khawatirku.
"Kau telah memeriksa mobil?"
Dia terdengar lebih marah daripada khawatir.
"Ya itu. Itu tempat pertama yang kulihat." Aku mengadakan pencarian terakhir dengan cepat di halaman belakang. "Aku tak percaya Josh pergi begitu saja." ]
"Aku juga," kata Ayah, dia memutar matanya. "Kau tahu saudaramu saat dia tak mendapatkan cara. Mungkin dia ingin kita berpikir dia minggat dari rumah.."
Dia mengerutkan dahi.
"Di mana dia?" tanya Ibu setelah kami kembali ke depan rumah.
Ayah dan aku sama-sama mengangkat bahu.
"Mungkin dia mendapat teman dan keluyuran," kata Ayah.
Dia mengangkat tangan dan menggaruk rambut keriting cokelatnya. Aku bisa mengatakan bahwa ia mulai khawatir juga.
"Kita harus menemukannya," kata Ibu, memandang ke jalan. "Dia tak tahu lingkungan ini sama sekali. Dia mungkin berjalan-jalan dan tersesat.."
Mr Dawes mengunci pintu depan dan melangkah turun dari beranda, mengantongi kunci.
"Dia tak bisa pergi terlalu jauh," katanya, memberi Ibu satu senyum meyakinkan. "Mari kita berkendaraan di sekitar blok ini. Aku yakin kita akan menemukannya."
Ibu menggeleng dan melirik gugup pada Ayah.
"Aku akan membunuhnya," gumamnya.
Ayah menepuk-nepuk bahunya.
Mr Dawes membuka bagasi dari Honda kecil, melepas jas gelapnya, dan melemparkannya ke dalam. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu berpinggiran lebar, topi koboi hitam dan memakainya di atas kepalanya.
"Hei - itu topi yang pas," kata Ayah, naik ke kursi penumpang depan.
"Melindungi dari matahari," kata Mr Dawes, meluncur di belakang kemudi dan membanting pintu mobil.
Ibu dan aku di belakang. Sambil melirik ke arahnya, aku melihat bahwa Ibu sama khawatir seperti aku.
Kami menuju ke blok dalam keheningan, kami berempat menatap keluar dari jendela mobil. Rumah-rumah yang kami lewati semuanya tampak tua. Sebagian dari mereka bahkan lebih besar daripada rumah kami. Semua rumah tampak berada dalam kondisi yang baik, dicat secara baik dengan rapi, dipangkas rumput dengan baik.
Aku tak melihat ada orang di rumah atau pekarangan, dan tak ada seorang pun di jalan.
Ini tentunya suatu lingkungan yang tenang, pikirku. Dan teduh. Rumah-rumah semua tampaknya dikelilingi oleh pohon-pohon berdaun tinggi. Di halaman depan kami melaju perlahan melewatinya, semuanya tampak dimandikan dalam bayangan. Jalan merupakan satu-satunya tempat cerah, satu pita emas sempit yang berlari melalui bayangan pada kedua sisi.
Mungkin itu sebabnya ini disebut Dark Fall (Air Terjun Gelap), pikirku.
"Mana anakku?" Ayah bertanya, menatap tajam ke luar kaca depan.
"Aku akan membunuhnya. Aku akan benar-benar membunuhnya," gumam Ibu.
Ini bukan pertama kalinya dia mengatakan begitu tentang Josh.
Kami sudah berjalan di sekeliling blok dua kali. Tak ada tanda darinya.
Mr Dawes menyarankan agar kami berkendaraan mengelilingi beberapa blok berikutnya, dan Ayah segera setuju.
"Kuharap aku juga tak tersesat. Aku juga baru di sini. " kata Mr Dawes, berputar pada suatu tikungan.
"Hei, ada sekolah," Dia memberitahu, sambil menunjuk ke luar dari jendela sebuah bangunan tinggi berbata merah. Bangunan ini tampak sangat kuno, dengan lajur-lajur putih di kedua sisi pintu depan berganda.
"Tentu saja, itu tertutup sekarang," tambah Mr Dawes.
Mataku mencari di taman bermain berpagar di belakang sekolah. Kosong. Tak ada orang di sana.
"Bisakah Josh telah berjalan sejauh ini?" Ibu bertanya, suaranya kuat dan lebih tinggi dari biasanya.
"Josh tak berjalan," kata Ayah, dia memutar matanya. "Dia berlari."
"Kita akan menemukannya," kata Mr Dawes percaya diri, menekan jari-jarinya pada setir saat dia mengemudi.
Kami berbelok ke sudut blok lain yang teduh. Suatu tanda jalan berbunyi "Hard Cemetery," dan tampak meyakinkan, sebuah pemakaman besar tampak di depan kami. Granit batu nisan berguling sepanjang bukit rendah, yang miring ke bawah dan kemudian naik lagi ke bentangan datar yang besar, juga ditandai dengan barisan nisan rendah dan monumen-monumen.
Beberapa semak menandai beberapa kuburan, tapi tak ada banyak pohon. Saat kami melaju perlahan melewatinya, batu-batu nisan lewat dalam kabut di sebelah kiri, aku menyadari bahwa ini adalah tempat yang paling banyak cahaya mataharinya yang pernah kulihat di seluruh kota.
"Itu anak Anda." Mr Dawes, menunjuk ke luar jendela, menghentikan mobil tiba-tiba.
"Oh, syukurlah" Ibu berseru, membungkuk untuk melihat keluar jendela mobil di sisiku.
Tentu saja, itu Josh, berlari liar di sepanjang suatu deretan bengkok batu nisan putih yang rendah.
"Apa yang dilakukannya di sini?" tanyaku, mendorong membuka pintu mobilku.
Aku melangkah turun dari mobil, berjalan beberapa langkah ke rumput, dan memanggilnya. Pada awalnya, ia tak bereaksi terhadap teriakanku. Dia tampak merunduk dan menghindar melalui batu nisan. Dia berlari dalam satu arah, kemudian memotong ke sisi itu, kemudian menuju ke arah lain.
Mengapa ia melakukan itu?
Aku mengambil beberapa langkah lagi - dan kemudian berhenti, dicekam ketakutan.
Tiba-tiba aku menyadari mengapa Josh melesat dan merunduk seperti itu, berlari sangat liar melalui batu nisan. Dia sedang dikejar.
Seseorang - atau sesuatu - mengejarnya.
3
Lalu, saat aku melangkah enggan menuju Josh, mengawasinya membungkuk rendah, kemudian mengubah arah, lengannya terentang saat ia berlari, aku sadar bahwa aku mandapati ini terbalik sama sekali.
Josh tak dikejar. Josh mengejar.
Dia mengejar Petey.
Oke, oke. Jadi kadang-kadang imajinasiku berjalan jauh bersamaku. Berlari melalui pemakaman tua seperti ini - bahkan di siang hari yang cerah - itu hanya alami bagi seseorang yang mungkin mulai memiliki pikiran aneh.
Aku memanggil Josh lagi, dan kali ini ia mendengarku dan berbalik. Dia tampak khawatir.
"Amanda - ke sini bantu aku" teriaknya.
"Josh, ada masalah apa?" Aku berlari secepat yang aku bisa untuk mengejarnya, tapi ia terus melesat melalui batu nisan, bergerak dari satu baris ke baris lainnya.
"Tolong"
"Josh - apa yang salah?"
Aku berbalik dan melihat bahwa Ayah dan Ibu tepat di belakangku.
"Petey," Josh menjelaskan, sambil kehabisan napas. "Aku tak bisa menghentikannya, aku menangkapnya sekali,. Tapi dia menjauh dariku."
"Petey, Petey" Ayah mulai memanggil anjing itu.
Tapi Petey bergerak dari satu batu ke batu lainnya, mengendus masing-masing, kemudian berlari ke yang berikutnya.
"Bagaimana kau bisa dapat berjalan ke sini?" tanya Ayah berusaha menangkapnya dengan adikku.
"Aku mengikuti Petey," Josh menjelaskan, masih tampak sangat cemas. "Dia terlepas begitu saja. Satu detik dia mengendus-endus sekitar alas bunga mati di halaman depan kami. Detik berikutnya, dia mulai berlari. Dia tak berhenti ketika kupanggil. Bahkan tak pernah melihat ke belakang. Dia terus berlari sampai dia tiba di sini. Aku harus mengikuti. Aku takut dia akan tersesat.. "
Josh berhenti dan bersyukur membiarkan Ayah mengambil alih pengejaran.
"Aku tak tahu apa masalah anjing bodoh itu," katanya padaku. "Dia agak aneh."
Ayah perlu beberapa kali mencoba, tapi akhirnya dia berhasil meraih Petey dan mengangkatnya dari tanah. Anjing terrier kecil kami memperlihatkan jeritan protes setengah hati, kemudian membiarkan dirinya dibawa pergi.
Kita semua beramai-ramai berjalan kembali ke mobil di sisi jalan. Mr Dawes sedang menunggu di mobil.
"Mungkin lebih baik Anda membeli tali untuk anjing itu," katanya, tampak sangat prihatin.
"Petey tak pernah memakai tali," protes Josh, dengan letih naik ke kursi belakang.
"Yah, kita mungkin harus mencoba satu kali untuk sementara waktu," kata Ayah pelan. "Terutama jika dia terus melarikan diri."
Ayah melemparkan Petey ke kursi belakang. Anjing bersemangat itu meringkuk dalam pelukan Josh.
Sisa dari kami masuk ke dalam mobil, dan Mr Dawes mengantar kami kembali ke kantornya, sebuah bangunan kecil putih beratap datar di ujung deretan kantor kecil. Saat kami melaju, aku mengulurkan tangan dan membelai bagian belakang kepala Petey.
Mengapa anjing itu lari seperti itu? Aku bertanya-tanya. Petey tak pernah melakukan itu sebelumnya.
Kukira Petey juga kesal akan kepindahan kami. Setelah Petey telah menghabiskan seluruh hidupnya di rumah lama kita. Dia mungkin merasa seperti Josh dan aku tentang harus berkemas, pindah dan tak pernah melihat lingkungan lama lagi.
Rumah baru, jalan baru, dan semua bau baru mestinya anjing malang itu mengalami kepanikan. Josh ingin lari dari seluruh ide. Dan begitu pula Petey.
Pokoknya, itu teoriku.
Mr Dawes memarkir mobil di depan kantor kecil, menjabat tangan Ayah, dan memberinya kartu nama.
"Anda bisa datang minggu depan," katanya kepada Ibu dan Ayah. "Aku akan menyelesaikan semua pekerjaan yang disahkan oleh hukum setelah ini. Setelah Anda menandatangani surat-surat, Anda dapat pindah kapan saja.."
Dia membuka pintu mobil dan, memberi kami semua senyum terakhir, siap untuk naik keluar.
"Dawes Compton," kata Ibu, membaca kartu nama putih di bahu Ayah. "Itu nama yang tak biasa. Apakah Compton nama tua keluarga ?"
Mr Dawes menggelengkan kepala.
"Tidak," katanya, "Hanya aku yang bernama Compton dalam keluargaku, aku tak tahu mana nama ini berasal. Tak tahu sama sekali. Mungkin orang tuaku tak tahu bagaimana mengeja Charlie"
Menertawakan leluconnya yang mengerikan, ia keluar dari mobil, menurunkan topi hitam lebar Stetson di kepalanya, menarik jasnya dari bagasi, dan menghilang ke dalam gedung putih kecil.
Ayah naik di belakang kemudi, menggerakkan mundur kursi untuk membuat ruang untuk perutnya yang besar. Ibu berada di depan, dan kami mulai perjalanan pulang yang panjang.
"Kukira kau dan Petey sudah cukup berpetualang hari ini," kata Ibu pada Josh, menggulung jendela karena Ayah menyalakan AC.
"Aku kira," kata Josh tak bersemangat.
Petey tertidur lelap di pangkuannya, mendengkur pelan.
"Kau akan menyukai kamarmu," kataku Josh. "Seluruh rumah itu besar. Benar-benar.."
Josh menatapku serius, tapi tak menjawab.
Aku menyodok tulang rusuknya dengan sikuku.
"Katakan sesuatu. Bukankah kau dengar apa kataku?."
Tapi aneh, pandangan berpikir tak memudar dari wajah Josh.
***
Beberapa minggu ke depan sepertinya berjalan lambat. Aku berjalan di sekitar rumah berpikir tentang bagaimana aku tak akan pernah melihat kamarku lagi, bagaimana aku tak akan pernah sarapan di dapur ini lagi, bagaimana aku tak akan pernah menonton TV di ruang tamu lagi. Hal-hal yang mengerikan seperti itu.
Aku punya perasaan sakit ketika para tukang pemindah barang-barang datang suatu sore dan mengantarkan tumpukan karton yang tinggi. Waktunya berkemas. Ini benar-benar terjadi. Meskipun itu di tengah sore hari, aku naik ke kamarku dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Aku tak tidur atau apa pun. Aku hanya menatap langit-langit selama lebih dari satu jam, dan semua hal liar, pikiran yang tak berhubungan melintas di benakku, seperti sebuah mimpi, hanya aku sudah bangun.
Aku bukan satu-satunya yang gugup akan pindah. Ibu dan Ayah saling membentak satu sama lain tanpa sebab. Suatu pagi mereka bertengkar hebat mengenai apakah daging itu terlalu kering atau tidak.
Dalam satu hal, itu lucu melihat mereka begitu kekanak-kanakan. Josh bertingkah sangat murung sepanjang waktu. Dia hampir tak berbicara sepatah kata pun kepada siapa pun. Dan Petey merajuk juga. Anjing bodoh itu bahkan tak mengambil dan datang kepadaku saat aku punya sisa (makanan dari) meja untuknya.
Kukira bagian tersulit tentang pindah adalah berkata selamat tinggal kepada teman-temanku. Carol dan Amy sedang pergi di kamp, jadi aku harus menulis kepada mereka. Tapi Kathy di rumah, dan dia adalah temanku yang paling lama, paling baik, dan paling sulit untuk mengatakan selamat tinggal.
Kupikir beberapa orang terkejut bahwa Kathy dan aku tetap menjadi teman baik. Untuk satu hal, kami kelihatan begitu berbeda. Aku tinggi, kurus dan gelap, dan dia berkulit kuning langsat, dengan rambut pirang panjang, dan sedikit gemuk. Tapi kami telah berteman sejak TK, dan sahabat terbaik sejak kelas empat.
Ketika dia datang malam sebelum pindah, kami berdua sangat kikuk.
"Kathy, kau tak boleh gugup," kataku. "Kau bukan orang pertama yang pindah menjauh selamanya."
"Ini tak seperti pindahmu ke Cina atau lainnya," jawabnya, mengunyah keras permen karetnya. "Dark Falls hanya empat jam jauhnya, Amanda. Kita akan banyak bertemu .."
"Ya, kurasa," kataku. Tapi aku tak percaya. Empat jam perjalanan seburuk seperti di Cina, sejauh kerisauanku.
"Kukira kita masih bisa berbicara di telepon," kataku murung.
Dia meniup gelembung hijau kecil, kemudian diisap lagi ke dalam mulutnya.
"Ya. Tentu," katanya, pura-pura antusias. "Kau beruntung, kau tahu. Pindah keluar dari lingkungan kumuh ke rumah besar.."
"Ini bukan lingkungan kumuh," aku bersikeras. Aku tak tahu mengapa aku membela lingkungan ini. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Salah satu hiburan favorit kami adalah memikirkan tempat kami akan tumbuh dewasa.
"Sekolah tak akan sama tanpa dirimu," dia menghela napas, melingkarkan kakinya di bawah kursi. "Siapa yang akan memberiku jawaban matematika?"
Aku tertawa.
"Aku selalu memberimu jawaban yang salah."
"Tapi itu adalah pemikiran yang berarti," kata Kathy. Dan kemudian dia mengerang. "Ugh , pelajar SMP. Apakah pelajar SMP itu bagian dari SMA atau bagian dari SD?"
Aku membuat wajah jijik. "Semuanya dalam satu kesatuan. Ini adalah kota kecil, ingat ? Tak ada SMA yang terpisah.? Setidaknya, aku tak melihat satupun."
"Nyebelin," katanya.
Nyebelin memang benar.
Kami mengobrol selama berjam-jam. Sampai ibu Kathy menelepon dan mengatakan sudah waktunya dia pulang.
Lalu kami berpelukan. Aku telah memutuskan bahwa aku tak akan menangis, tapi aku bisa merasakan, air mata besar yang panas terbentuk di sudut mataku. Dan kemudian mengalir di pipiku.
"Aku sangat menyedihkan" ratapku.
Aku telah merencanakan untuk benar-benar terkontrol dan matang. Tapi Kathy adalah teman terbaikku, setelah semuanya, dan apa yang bisa kulakukan?
Kami membuat janji bahwa kami akan selalu bersama-sama pada hari ulang tahun kami - tak peduli apa pun. Kami akan memaksa orangtua kami untuk memastikan kami tak melewatkan hari ulang tahun masing-masing.
Dan kemudian kami berpelukan lagi.
Dan Kathy berkata, "Jangan khawatir Kita akan banyak bertemu.. Sungguh."
Dan matanya berlinang air mata juga.
Dia berbalik dan berlari keluar pintu. Pintu kasa terbanting keras di belakangnya. Aku berdiri di sana menatap ke dalam kegelapan sampai Petey datang berlari terburu-buru ke dalam, kuku kakinya berbunyi di linoleum, dan mulai menjilati tanganku.
***
Keesokan paginya, hari pindah, hari Sabtu hujan. Bukan hujan deras. Tak ada guntur atau petir. Tapi hanya hujan dan angin yang cukup membuat perjalanan panjang menjadi lambat dan tak menyenangkan.
Langit tampak jadi lebih gelap saat kami mendekati lingkungan baru. Pohon-pohon yang padat membungkuk rendah di atas jalan.
"Pelan-pelan, Jack," kata Ibu nyaring. "Jalan ini benar-benar licin."
Tapi Ayah terburu-buru untuk sampai ke rumah sebelum van (pengangkut barang-barang yang dibawa) pindah itu.
"Mereka akan menempatkan barang-barang di mana saja jika kita tak disana untuk mengawasi," jelasnya.
Josh, di sampingku di bangku belakang, merasa benar-benar sakit, seperti biasanya. Dia terus mengeluh bahwa ia haus. Ketika itu tak berhasil, ia mulai merengek bahwa ia kelaparan. Tapi kami semua telah sarapan besar, sehingga itu pun tak mendapatkan reaksi apapun.
Dia hanya ingin perhatian, tentu saja. Aku terus mencoba untuk menghiburnya dengan mengatakan kepadanya betapa besar di dalam rumah itu dan seberapa besar kamarnya. Dia belum melihatnya.
Tapi dia tak ingin dihibur. Dia mulai bergulat dengan Petey, membuat anjing malang itu bekerja, sampai Ayah harus berteriak padanya untuk berhenti.
"Mari kita semua berusaha keras untuk tak membuat gelisah satu dengan yang lain," usul Ibu.
Ayah tertawa.
"Ide bagus, Sayang."
"Jangan mengejekku," bentak Ibu.
Mereka mulai berdebat tentang siapa yang lebih lelah dari semua pengepakan. Petey berdiri di atas kaki belakangnya dan mulai menggonggong di jendela belakang.
"Tak bisakah kau membuatnya diam?" Ibu menjerit.
Aku menarik Petey, tapi ia berjuang kembali dan mulai menggonggong lagi.
"Dia pernah tak melakukan ini sebelumnya," kataku.
"Buat ia tenang" desak Ibu.
Aku menarik turun kaki belakang Petey, dan Josh mulai melolong. Ibu berbalik dan memberinya pandangan jelek. Josh tak berhenti melolong, meskipun dia tahu itu salah. Dia pikir dia pengacau.
Akhirnya, Ayah menghentikan mobil di jalan masuk rumah baru. Suara ban berdecit di atas kerikil basah. Hujan memukul-mukul atap.
"Rumah, rumah yang indah," kata Mama.
Aku tak tahu apakah dia sedang menyindir atau tidak. Kupikir dia benar-benar senang perjalanan panjang dengan mobil berakhir.
"Setidaknya kita mengalahkan (van pengangkut barang-barang) pindah ," kata Ayah, sambil melirik jam tangannya. Lalu ekspresinya berubah. "Semoga mereka tak tersesat."
"Ini gelap seperti malam hari di luar sana," keluh Josh.
Petey melompat-lompat di pangkuanku, putus asa untuk keluar dari mobil. Dia biasanya wisatawan yang baik. Tapi begitu mobil berhenti, ia ingin segera keluar.
Aku membuka pintu mobilku dan dia melompat ke jalan masuk dengan satu lompatan dan mulai berjalan liar zigzag liar di halaman depan.
"Setidaknya seseorang senang berada di sini," kata Josh pelan.
Ayah berlari ke beranda dan, meraba-raba dengan kunci asing, berusaha membuka pintu depan. Lalu ia memberi isyarat bagi kita untuk datang ke rumah.
Ibu dan Josh berlari menyeberangi jalan, ingin sekali keluar dari hujan. Aku menutup pintu mobil belakangku dan mulai berlari mengejar mereka.
Tapi sesuatu tertangkap mataku. Aku berhenti dan mendongak ke jendela kembar di atas teras.
Aku menahan tanganku menutupi alis untuk melindungi mataku dan memicingkan mata menembus hujan.
Ya. Aku melihatnya.
Suatu wajah. Pada jendela di sebelah kiri.
Anak itu.
Anak laki-laki yang sama di atas sana, menatap ke arahku.
4
"Bersihkan kakimu. Jangan buat jejak lumpur di lantai bersih bagus ini" teriak Ibu. Suaranya bergema di dinding-dinding hampa di ruang tamu kosong .
Aku melangkah ke koridor. Rumah itu berbau cat. Para pengecat baru saja selesai pada hari Kamis. Terasa panas di dalam rumah, jauh lebih panas dari pada luar.
"Lampu dapur tak mau hidup," teriak Ayah dari belakang. "Apakah para pengecat mematikan listrik atau sesuatu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" teriak Ibu kembali.
Suara mereka terdengar begitu keras di rumah besar kosong.
"Ibu - di lantai atas ada seseorang" teriakku, membersihkan kakiku di atas keset baru dan bergegas ke ruang tamu.
Dia berada di jendela, menatap hujan, mungkin mencari para pemindah barang. Dia berputar saat aku masuk
"Apa?"
"Ada anak di lantai atas. Aku melihatnya di jendela," kataku, berusaha mengatur napas.
Josh memasuki ruangan dari lorong belakang. Dia mungkin tadi bersama Ayah. Dia tertawa.
"Apakah ada seseorang yang sudah tinggal di sini?"
"Tak ada seorang pun di lantai atas," kata Ibu, memutar matanya. "Apakah kalian berdua hari ini akan memberiku istirahat, atau apa?"
"Apa yang kulakukan?" rengek Josh.
"Dengar, Amanda, kita semua di ujung hari sedikit-" Ibu
mulai.
Tapi aku memotongnya. "Aku melihat wajahnya, Ibu. Di jendela.. Aku tak gila, kau tahu."
"Kata siapa?" sela Josh.
"Amanda" Ibu menggigit bibir bawahnya, seperti selalu ia lakukan saat ia benar-benar jengkel. "Kau melihat pantulan dari sesuatu. Dari pohon mungkin.."
Dia berbalik kembali ke jendela. Hujan turun berlapis-lapis sekarang, angin bergerak ribut di jendela besar bergambar.
Aku berlari ke tangga, menangkupkan tangan ke mulutku, dan berteriak sampai ke lantai dua, "Siapa di sana?"
Tak ada jawaban.
"Siapa di sana?" panggilku, sedikit lebih keras.
Ibu menutupi telinganya dengan tangannya.
"Amanda - tolong "
Josh menghilang melalui ruang makan. Dia akhirnya menjelajahi rumah.
"Ada seseorang di atas sana," aku bersikeras dan menuruti hatiku, aku mulai menaiki tangga kayu, sepatuku berbunyi keras di tangga kosong.
"Amanda -" Aku mendengar panggilan Ibu setelah itu.
Tapi aku terlalu marah untuk berhenti. Mengapa dia tak percaya padaku? Mengapa ia harus mengatakan itu adalah pantulan dari pohon yang kulihat di sana?
Aku penasaran. Aku harus tahu siapa yang ada di lantai atas. Aku harus membuktikan Ibu salah. Aku harus menunjukkan padanya aku tak melihat satu pantulan yang bodoh. Kukira aku pun bisa sangat keras kepala, juga. Mungkin ciri khas keluarga.
Tangga berdecit dan berderit di bawah saat aku naik. Aku tak merasa takut betul sampai aku mencapai lantai dua. Lalu aku tiba-tiba punya perasaan berat di perutku.
Aku berhenti, terengah-engah, bersandar di pegangan tangga.
Siapa yang bisa begitu? Perampok? Satu anak tetangga yang membosankan melanggar ke sebuah rumah kosong untuk satu kesenangan?
Mungkin aku seharusnya tak di sini sendirian, aku menyadarinya.
Mungkin anak laki-laki di jendela itu berbahaya.
"Ada orang di sini?" panggilku, suaraku tiba-tiba gemetar dan lemah.
Masih bersandar pegangan tangga, aku mendengarkan.
Dan aku bisa mendengar langkah kaki berlari di lorong.
Tidak.
Bukan langkah kaki.
Hujan. Itulah apa itu. Derai hujan di atap papan sirap.
Untuk beberapa alasan, suara itu membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku melepaskan pegangan tangga dan melangkah ke lorong panjang dan sempit. Saat itu gelap di sini, kecuali cahaya abu-abu persegi panjang dari sebuah jendela kecil di ujung lain.
Aku berjalan beberapa langkah, papan lantai kayu tua berderit ribut di bawahku.
"Ada orang di sini?"
Sekali lagi tak ada jawaban.
Aku melangkah ke pintu pertama di sebelah kiriku. Pintu itu tertutup. Bau cat baru mencekik. Ada tombol lampu di dinding dekat pintu. Mungkin itu untuk lampu di koridor, pikirku. Aku menghidupkannya. Tapi tak ada yang terjadi.
"Ada orang di sini?"
Tanganku gemetar saat aku meraih gagang pintu. Rasanya hangat di tanganku. Dan lembab.
Aku berbalik dan, mengambil napas dalam-dalam, mendorong pintu.
Aku mengintip ke dalam ruangan. Cahaya abu-abu disaring melalui jendela. Satu kilatan petir membuatku melompat mundur. Guntur yang diikuti suara gemuruh jauh memudar.
Perlahan-lahan, hati-hati, Aku melangkah ke dalam ruangan. Lalu, satu lagi.
Tak ada tanda-tanda siapa pun.
Ini adalah kamar tidur tamu. Atau bisa juga kamar Josh jika dia memutuskan dia menyukainya.
Kilatan petir lainnya. Langit tampak gelap. Gelap gulita di luar sana meskipun setelah makan siang.
Aku mundur ke lorong. Ruang menurun berikutnya akan jadi milikku. Ruang itu juga memiliki jendela yang menonjol keluar untuk melihat ke bawah halaman depan.
Apakah anak yang kulihat itu menatap dari kamarku?
Aku mengendap-endap menyusuri koridor, membiarkan tanganku bergerak sepanjang dinding untuk beberapa alasan, dan berhenti di luar pintu kamarku, yang juga tertutup.
Dengan mengambil napas dalam-dalam, aku mengetuk pintu.
"Siapa di sana?" teriakku.
Aku mendengarkan.
Hening.
Kemudian satu sambaran halilintar, lebih dekat dari yang terakhir. Aku membeku seolah-olah aku lumpuh, menahan napas. Sangat panas di sini, panas dan lembab. Dan bau cat membuatku pusing.
Aku meraih kenop pintu.
"Siapa di sana?"
Aku mulai memutar tombolnya - ketika anak itu bergerak pelan-pelan dari belakang dan meraih bahuku.
5
Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa menjerit.
Jantungku serasa berhenti. Dadaku terasa seperti akan meledak.
Dengan nekat, upaya ketakutan, aku berbalik memutar.
"Josh" jeritku. "Kau membuatku ketakutan sampai mati, kupikir -"
Dia melepaskanku dan mundur selangkah.
"Kena" katanya, dan lalu mulai tertawa, tawa bernada tinggi bergema di lorong panjang yang kosong.
Jantungku berdebar keras sekarang. Keningku berdenyut-denyut.
"Kau tak lucu," kataku dengan marah. Aku mendorongnya ke dinding. "Kau benar-benar membuatku takut."
Dia tertawa dan berguling-guling di lantai. Dia benar-benar satu penyakit. Aku mencoba mendorongnya lagi tapi meleset.
Dengan marah, aku berpaling darinya - tepat waktu itu melihat pintu kamarku perlahan-lahan berayun terbuka.
Aku terkesiap tak percaya. Dan membeku, ternganga di pintu yang bergerak.
Josh berhenti tertawa dan berdiri, segera serius, matanya yang gelap terbelalak ketakutan.
Aku bisa mendengar seseorang bergerak di dalam ruangan.
Aku bisa mendengar bisik-bisik.
Tawa gembira.
"Siapa - siapa di sana?" aku berhasil bicara terbata-bata dengan suara agak tinggi yang tak kukenali.
Pintu itu, berderit keras, membuka sedikit lagi, lalu mulai menutup.
"Siapa di sana?" desakku , sedikit lebih tegas.
Sekali lagi, aku bisa mendengar bisikan, seseorang bergerak.
Josh mundur ke dinding dan berjalan pergi ke tangga. Dia memiliki ekspresi wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya - ketakutan.
Pintu itu, berderit seperti pintu di film rumah hantu, tertutup sedikit lagi.
Josh hampir sampai ke tangga. Dia menatapku, tangannya menunjuk dengan keras padaku agar mengikutinya.
Tapi sebaliknya, aku melangkah maju, meraih kenop pintu, dan membuka pintu dengan keras.
Ini tak melawan.
Aku melepaskan pegangan pintu dan berdiri menghalangi pintu.
"Siapa di sana?"
Ruangan itu kosong.
Guntur berdentam.
Aku butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang membuat pintu bergerak. Jendela pada dinding seberang telah dibiarkan terbuka beberapa inci. Hembusan angin melalui jendela yang terbuka pasti telah membuka dan menutup pintu. Kuduga itu juga menjelaskan suara-suara lain yang kudengar di dalam ruangan, suara yang kupikir bisik-bisik.
Siapa yang membiarkan jendela terbuka? Mungkin para pengecat.
Aku menarik napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan, menunggu debaran jantungku untuk menurun normal.
Merasa sedikit bodoh, aku berjalan cepat ke jendela dan mendorong menutupnya.
"Amanda - apakah kau baik-baik saja?" Josh berbisik dari lorong.
Aku mulai menjawabnya. Tapi kemudian aku punya ide yang lebih baik.
Dia tadi menakutiku setengah mati beberapa menit sebelumnya. Mengapa tak memberinya sedikit ketakutan? Dia pantas mendapatkannya.
Jadi aku tak menjawab.
Aku bisa mendengarnya mengambil beberapa langkah ketakutan mendekat ke kamarku.
"Amanda Amanda ? Kau baik-baik saja ?"
Aku berjingkat-jingkat ke lemariku, menarik pintu membuka sepertiga jalan. Lalu aku berbaring datar di lantai, di punggungku, dengan kepala dan bahu tersembunyi di dalam lemari dan sisanya keluar di dalam ruangan.
"Amanda?" Josh terdengar sangat ketakutan.
"Ohhhhh," erangku keras.
Aku tahu saat dia melihatku tergeletak di lantai seperti ini, dia benar-benar akan panik
"Amanda - apa yang terjadi?"
Dia berada di ambang pintu sekarang. Dia sekarang melihatku beberapa detik, berbaring di ruangan gelap, kepalaku tersembunyi dari pandangan, petir berkelap-kelip mengesankan dan guntur bergemuruh di luar jendela lama.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya agar tak tertawa cekikikan.
"Amanda?" bisiknya. Dan lalu ia pasti telah melihatku, karena dia berkata keras
"Hah?"
Dan aku mendengarnya terengah-engah.
Dan lalu dia berteriak sekuat-kuatnya. Aku mendengarnya berlari menyusuri lorong ke tangga, menjerit-jerit,
"Ibu Ayah"
Dan aku mendengar sepatunya bersuara keras menuruni tangga kayu, dengan jeritannya dan memanggil-manggil di sepanjang jalan ke bawah.
Aku tertawa sendiri. Lalu, sebelum aku bisa menarik diriku, aku merasa satu lidah kasar hangat menjilati wajahku.
"Petey "
Dia menjilati pipiku, menjilati kelopak mataku, menjilatiku dengan panik, seolah-olah ia sedang mencoba untuk menghidupkanku kembali, atau seolah-olah membiarkanku tahu bahwa semuanya baik-baik saja.
"Oh, Petey Petey" teriakku, tertawa dan melilitkan lenganku pada anjing manis itu. "Hentikan. Kau membuatku lengket semua"
Tapi dia tak akan berhenti. Dia terus menjilati dengan keras.
Anjing malang itu gugup juga, pikirku.
"Ayolah, Petey, sudahlah," kataku padanya, memegang wajahnya terengah-engah pergi dengan kedua tanganku. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tempat baru ini akan menjadi menyenangkan.. Kau akan melihat."
6
Malam itu, aku tersenyum sendiri sambil menepuk-nepuk bantalku dan meluncur ke tempat tidur. Aku sedang berpikir tentang bagaimana takutnya Josh telah sore itu, betapa kelihatan takutnya dia bahkan setelah aku datang berjingkrak menuruni tangga, baik-baik saja. Betapa marahnya dia bahwa aku menipunya.
Tentu saja, Ibu dan Ayah tak menganggap hal itu lucu. Mereka berdua gugup dan kesal karena van (pengangkut barang) pindah baru saja tiba, terlambat satu jam. Mereka memaksa Josh dan aku untuk membuat gencatan senjata. Tak ada lagi menakut-nakuti satu sama lain.
"Sulit untuk tak merasa takut di tempat tua mengerikan ini," gumam Josh.
Tapi kami enggan setuju untuk tak bermain lelucon lagi pada satu sama lain, jika mungkin kami bisa membantunya.
***
Para pria, mengeluh tentang hujan, mulai membawa di semua perabotan kami. Josh dan aku membantu menunjukkan kepada mereka di mana kami ingin barang-barang di kamar kami. Mereka menaruh meja riasku di tangga, namun hanya mendapat goresan kecil.
Perabot itu tampak aneh dan kecil dalam rumah besar ini. Josh dan aku mencoba untuk tetap keluar ke jalan sementara Ibu dan Ayah bekerja sepanjang hari, mengatur barang-barang, mengosongkan kardus, menempatkan pakaian. Ibu bahkan dapat menempatkan gantungan gorden di kamarku.
Hari yang melelahkan
Sekarang, sesaat setelah jam 10:00, mencoba tidur untuk pertama kalinya di kamar baruku, aku berputar ke pinggangku, kemudian ke punggungku. Meskipun ini adalah ranjang tuaku, aku tak bisa merasa nyaman.
Segalanya tampak begitu berbeda, begitu salah. Tempat tidur tak menghadap ke arah yang sama seperti di kamar tidur lamaku. Dinding-dindingnya yang kosong. Aku tak punya waktu untuk menggantungkan beberapa posterku. Ruangan itu tampak begitu luas dan kosong. Bayang-bayang tampak jauh lebih gelap.
Punggungku mulai terasa gatal, dan lalu aku tiba-tiba merasa gatal di seluruh tubuhku. Tempat tidur penuh dengan serangga Kupikir, duduk. Tapi tentu saja itu konyol. Itu adalah tempat tidur tuaku yang sama dengan seprei bersih.
Aku memaksa diriku untuk tenang kembali tidur dan memejamkan mata. Kadang-kadang ketika aku tak bisa tidur, aku menghitung pelan-pelan angka genap, membayangkan setiap nomor dalam pikiranku seperti yang kupikir. Ini biasanya membantu untuk menjernihkan pikiranku sehingga aku bisa tidur.
Aku coba sekarang, membenamkan wajahku di bantal, membayangkan angka-angka bergulir lewat. . . 4. . . 6. . . 8. . .
Aku menguap keras-keras, masih terjaga di 22.
Aku akan terjaga selamanya, pikirku. Aku tak akan pernah bisa tidur di kamar baru.
Tapi kemudian aku tertidur tanpa menyadarinya. Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Satu atau dua jam paling banyak. Cahaya itu, tidur yang tidak nyaman. Lalu sesuatu membangunkanku. Aku duduk tegak, terkejut.
Meskipun ruangan panas, aku merasa dingin. Melihat ke ujung tempat tidur, kulihat bahwa aku telah menendang seprei dan selimut yang teran. Sambil mengerang, aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, tapi lalu membeku.
Aku mendengar bisikan.
Seseorang berbisik di seberang ruangan.
"Siapa - siapa di sana?"
Suaraku jadi bisikan juga, kecil dan ketakutan.
Aku meraih selimut dan menariknya ke daguku.
Aku mendengar bisikan-bisikan lagi. Ruangan itu jadi jadi fokus mataku yang membiasakan diri dengan cahaya redup.
Gorden-gorden itu. Yang panjang, gorden tipis dari kamar lamaku yang ibuku gantung siang itu sedang berkibar di jendela.
Jadi. Itu menjelaskan bisikan-bisikan tadi. Gorden-gorden menggelembung itu pasti membuatku bangun.
Sebuah cahaya lembut abu-abu tersebar dari luar. Bayang-bayang gorden berwarna bergerak ke kaki tempat tidurku.
Sambil menguap, aku berbaring dan keluar dari tempat tidur. Aku merasa dingin saat aku berjalan pelan melintasi lantai kayu untuk menutup jendela.
Ketika aku mendekat, gorden berhenti menggembung dan mengembang kembali ke tempatnya. Aku mendorongnya ke samping dan mengulurkan tangan untuk menutup jendela.
"Oh"
Aku menjerit pelan ketika aku menyadari bahwa jendela itu tertutup.
Tapi bagaimana gorden berkibar seperti itu dengan jendela tertutup? Aku berdiri di sana untuk sementara waktu, menatap malam yang abu-abu. Tak banyak angin. Jendela tampak cukup kedap udara.
Apakah aku membayangkan gorden-gorden menggelembung ? Apakah mataku menipuku ?
Sambil menguap, aku bergegas kembali melalui bayangan-bayangan aneh ke tempat tidurku dan menarik selimut setinggi-tingginya.
"Amanda, berhenti menakut-nakuti diri sendiri," omelku.
Ketika aku tertidur kembali beberapa menit kemudian, aku mimpi buruk, mimpi paling mengerikan.
Aku bermimpi bahwa kami semua mati. Ibu, Ayah, Josh, dan aku.
Pada awalnya, aku melihat kami duduk di sekitar meja makan di ruang makan baru. Ruangan itu sangat terang, begitu terang aku tak dapat melihat wajah-wajah kami dengan baik. Mereka benar-benar kabur, putih terang.
Tapi, lalu, perlahan-lahan, perlahan-lahan, semua jadi terfokus, dan aku bisa melihat bahwa di balik rambut kita, kami tak punya wajah. Kulit kami tak ada, dan hanya tengkorak abu-abu hijau kami yang tersisa. Potongan-potongan daging menempel tulang pipiku. Hanya ada rongga dalam hitam di mana ada mataku.
Kami berempat, semua mati, duduk makan dalam diam. Piring-piring makan kami, kulihat, diisi dengan tulang-tulang kecil. Sebuah piring besar di tengah meja penuh tumpukan tinggi tulang abu-abu-hijau, tampaknya tulang manusia.
Dan lampu, dalam mimpi ini, makan menjijikkan kami terganggu oleh ketukan keras di pintu, satu gedoran keras semakin keras dan keras. Itu Kathy, temanku dari belakang rumah. Aku bisa melihatnya di pintu depan kami, menggedor dengan kedua tangannya.
Aku ingin pergi membuka pintu. Aku ingin lari dari ruang makan dan membuka pintu dan menyapa Kathy. Aku ingin berbicara dengan Kathy. Aku ingin menceritakan apa yang terjadi padaku, untuk menjelaskan bahwa aku sudah mati dan bahwa wajahku telah tak ada.
Aku ingin tahu kesulitan Kathy.
Tapi aku tak bisa bangun dari meja. Aku mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa bangun.
Gedoran pintu semakin keras dan keras, sampai memekakkan telinga. Tapi aku hanya duduk di sana dengan keluargaku yang mengerikan, mengambil tulang dari piring makan malamku dan memakannya.
Aku terbangun dengan kaget, kengerian dari mimpi itu masih bersamaku. Aku masih bisa mendengar dentuman di telingaku. Aku menggeleng, mencoba mengusir pergi mimpi itui.
Hari sudah pagi. Aku bisa tahu dari langit biru di luar jendela.
"Oh, tidak."
Gorden-gorden itu. Mereka menggelembung lagi, berkibar berisik seolah-olah bertiup ke dalam ruangan.
Aku duduk dan menatap.
Jendela masih tertutup.
7
"Aku akan melihat di jendela. Harusnya ada aliran udara atau kebocoran atau sesuatu," kata Ayah saat sarapan. Dia memasukkan sesuap lain telur orak-arik dan ham.
"Tapi, Yah - itu sangat aneh" Aku bersikeras, masih merasa takut. "Gorden-gorden itu bertiup seperti gila, dan jendela itu tertutup"
"Mungkin ada kaca jendela yang hilang," saran Ayah.
"Amanda menyedihkan " ujar Josh.
Ide leluconnya benar-benar lucu.
"Jangan mulai dengan kakakmu," kata Ibu, meletakkan piringnya di atas meja dan menjatuhkan diri ke kursinya. Dia tampak lelah. Rambutnya yang hitam, yang biasanya ditarik mundur secara hati-hati, acak-acakan. Dia menarik-narik ikat pinggang jubah mandinya. "Wah aku tak berpikir aku tidur dua jam semalam."
"Aku juga," kataku, mendesah. "Aku terus berpikir bahwa anak itu yang mungkin akan muncul di kamarku lagi."
"Amanda - kau harus benar-benar harus menghentikan ini," kata Ibu tajam. "Anak laki-laki di kamarmu. Gorden-gorden bertiup. Kau harus menyadari bahwa kau gugup. Dan imajinasimu bekerja lembur."
"Tapi, Bu -" Aku mulai.
"Mungkin satu hantu berada di balik gorden," kata Josh, menggoda. Dia mengangkat tangannya dan membuat tingkah hantu "oooooooh" meratap.
"Wah." Ibu meletakkan tangan di bahu Josh. "Ingat apa yang kau janjikan tentang menakut-nakuti satu sama lain?"
"Ini akan sulit bagi kita semua untuk menyesuaikan diri dengan tempat ini," kata Ayah. "Kau mungkin telah bermimpi tentang gorden-gorden bertiup, Amanda. Katamu kau punya mimpi buruk, benar?."
Mimpi buruk yang menakutkan terlintas kembali ke pikiranku. Sekali lagi aku melihat piring besar tulang itu di atas meja. Aku menggigil.
"Sangat lembab di sini," kata Ibu.
"Sedikit sinar matahari akan membantu mengeringkan tempat itu," kata Ayah.
Aku mengintip keluar jendela. Langit telah berubah kelabu. Pepohonan tampak menyebarkan kegelapan di seluruh halaman belakang kami.
"Di mana Petey?" tanyaku.
"Keluar ke belakang," jawab Ibu, menelan sebutir telur. "Dia bangun pagi juga. Kurasa tak bisa tidur. Jadi kubiarkan dia keluar."
"Apa yang kita lakukan hari ini?" Josh bertanya.
Dia selalu ingin tahu rencana untuk hari itu. Setiap rincian. Pokoknya hingga dia bisa berdebat tentang hal itu.
"Ayahmu dan aku masih punya banyak barang yang harus dibuka," kata Ibu sambil melirik ke lorong belakang, yang penuh dengan karton belum dibuka. "Kalian berdua dapat menjelajahi lingkungan. Lihat apa yang dapat kalian temukan.. Lihat apakah ada anak-anak lain seusia kalian di sekitar sini."
"Dengan kata lain, kau ingin kami tersesat" Kataku.
Ibu dan Ayah tertawa. "Kau sangat cerdas, Amanda."
"Tapi aku ingin membantu membuka barang-barangku," rengek Josh.
Aku tahu dia akan berdebat dengan rencana, seperti biasa.
"Pergilah berpakaian dan berjalan-jalan yang lama," kata Ayah. "Bawa Petey bersama kalian, oke. Dan ambil tali untuknya. Aku tinggalkan satu di tangga depan."
"Bagaimana dengan sepeda kami ? Mengapa kami tak bisa naik sepeda?" Josh bertanya.
"Mereka terbenam di belakang garasi," kata Dad. "Kau tak akan pernah bisa mendapatkannya. Selain itu, banmu kempes.."
"Jika aku tak bisa naik sepeda, aku tak akan keluar," desak Josh, menyilangkan lengan di depan dadanya.
Ibu dan Ayah harus berdebat dengannya. Kemudian mengancamnya. Akhirnya, ia setuju untuk pergi untuk "berjalan kaki singkat."
Aku menyelesaikan sarapanku, berpikir tentang Kathy dan teman-temanku yang lain di rumah dulu. Aku bertanya-tanya anak-anak seperti apa di Dark Falls. Aku bertanya-tanya apakah aku akan dapat menemukan teman baru, teman sejati.
Aku menawarkan diri untuk mencuci piring sarapan karena Ibu dan Ayah sudah begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Air hangat terasa sejuk pada tanganku saat aku menyeka piring menjadi bersih. Kurasa mungkin aku aneh. Aku suka mencuci piring.
Di belakangku, dari suatu tempat di bagian depan rumah, aku bisa mendengar Josh berdebat dengan Ayah. Aku nyaris tak bisa membuat kata-kata di atas cucuran air keran.
"Bola basketmu dikemas dalam salah satu karton," kata Ayah.
Lalu Josh mengatakan sesuatu.
Lalu Ayah berkata, "Bagaimana aku tahu yang mana?"
Lalu Josh mengatakan sesuatu.
Lalu Ayah berkata, "Tidak, aku tak punya waktu untuk melihat sekarang. Percaya atau tidak, bola basketmu tak ada di bagian atas daftarku.."
Aku menumpuk hidangan terakhir ke meja untuk mengeringkan, dan mencari handuk untuk mengeringkan tanganku. Tak ada yang terlihat. Aku kira itu belum dibuka.
Sambil menyeka tanganku di bagian depan pakaianku, aku berjalan menuju tangga.
"Aku akan berpakaian dalam lima menit," kataku pada Josh, yang masih berdebat dengan Ayah di ruang tamu. "Lalu kita bisa keluar."
Aku mulai menaiki tangga depan, dan kemudian berhenti.
Di atas aku di panggung tangga rumah berdiri seorang gadis yang aneh, seumurku, dengan rambut hitam pendek. Dia tersenyum padaku, bukan senyum hangat, bukan senyum ramah, tapi senyum dingin paling menakutkan yang pernah kulihat.
8
Satu tangan menyentuh bahuku.
Aku berbalik.
Itu Josh.
"Aku tak akan berjalan-jalan kecuali aku dapat mengambil basketku," katanya.
"Josh - tolong- " Aku melihat kembali ke atap, dan gadis itu pergi.
Aku merasa dingin. Kakiku semua bergetar. Aku meraih pegangan tangga.
"Yah. Kemarilah - tolong " panggilku.
Wajah Josh dipenuhi dengan kegelisahan.
"Hei, aku tak melakukan apa-apa" teriaknya.
"Tidak - itu - itu bukan kau," kataku, dan memanggil Ayah lagi.
"Amanda, aku agak sibuk," kata Ayah, muncul di bawah kaki tangga, sudah berkeringat dari membongkar barang-barang ruang tamu.
"Yah, aku melihat seseorang," kataku. "Di atas sana. Seorang gadis.."
Aku menunjuk.
"Amanda, tolong," jawabnya, membuat suatu wajah. "Berhentilah melihat sesuatu -....?. Oke. Tak ada orang di rumah ini kecuali kita berempat dan mungkin beberapa tikus"
"Tikus ?" Josh bertanya, tiba-tiba tertarik. "Sungguh mana??"
"Ayah, aku tak membayangkan hal itu," kataku, suaraku pecah. Aku benar-benar terluka karena dia tak percaya padaku.
"Amanda, lihat di atas sana," kata Ayah, menatap ke puncak tangga. "Apa yang kau lihat?"
Aku mengikuti tatapannya. Ada setumpuk pakaianku di panggung anak tangga. Ibu pasti baru saja membongkarnya.
"Ini hanya pakaian," kata Ayah tak sabar. "Itu bukan gadis, itu pakaian.."
Dia memutar matanya.
"Maaf," kataku pelan. Aku mengulanginya saat aku mulai menaiki tangga. "Maaf."
Tapi aku tak benar-benar merasa menyesal. Aku merasa bingung.
Dan masih takut.
Apakah mungkin yang aku berpikir setumpukan pakaian adalah seorang gadis yang tersenyum?
Tidak, aku tak berpikir begitu.
Aku tak gila. Dan aku memiliki penglihatan yang benar-benar baik.
Jadi, apa yang terjadi?
Aku membuka pintu kamarku, menyalakan lampu langit-langit, dan melihat gorden-gorden berkibar di depan jendela.
Oh, tidak. Tidak lagi, pikirku.
Aku bergegas menghampirinya. Kali ini, jendela terbuka.
Siapa yang membukanya?
Ibu, tebakku.
Hangat, udara basah meniup ke dalam ruangan. Langit terasa berat dan abu-abu. Baunya seperti hujan.
Beralih ke tempat tidur, aku mendapat kejutan lain.
Seseorang telah meletakkan pakaian untukku. Sepasang jeans pudar dan biru pucat, kaos tanpa lengan, semua itu menyebar berdampingan di kaki tempat tidur.
Siapa yang menaruhnya di sana? Ibu?
Aku berdiri di ambang pintu dan memanggilnya.
"Ibu ? Ibu ? Apakah kau memilih pakaian untukku ?"
Aku bisa mendengar dia berteriak sesuatu dari lantai bawah, tapi aku tak bisa mengerti kata-katanya.
Tenang, Amanda, aku berkata pada diriku sendiri. Tenang.
Tentu saja Ibu menarik pakaian keluar. Tentu saja yang Ibu menempatkannya di sana.
Dari ambang pintu, aku mendengar bisik-bisik di lemariku.
Bisikan-bisikan dan cekikikan pelan di balik pintu lemari.
Ini adalah batas kesabaran yang terakhir.
"Apa yang terjadi di sini?" Aku berteriak di bagian atas paru-paruku.
Aku bergegas ke lemari dan membuka pintu.
Dengan panik, aku mendorong pakaian-pakaian di situ. Tak seorang pun di sana.
Tikus-tikus ? Pikirku. Apakah aku mendengar tikus-tikus yang Ayah bicarakan itu?
"Aku harus keluar dari sini," kataku keras-keras.
Ruangan ini, aku menyadari, itu membuatku gila.
Tidak, aku membuat diriku sendiri gila. Membayangkan semua hal aneh ini.
Pasti ada penjelasan logis untuk segala sesuatu. Semuanya.
Saat aku menarik celana jeansku dan mengancingnya, aku mengatakan kata "logis" berulang-ulang dalam pikiranku. Aku mengatakan itu berkali-kali begitu banyak sehingga tak terdengar seperti kata nyata lagi.
Tenang, Amanda. Tenang.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya sampai hitungan ke sepuluh.
"Boo"
"Josh -. Hentikan itu kau tak membuatku takut," kataku, terdengar lebih jengkel dari yang seharusnya.
"Ayo keluar dari sini," katanya, menatapku dari ambang pintu. "Tempat ini membuatku merinding."
"Hah kau juga?"
Aku berseru. "Apa masalahmu?"
Dia mulai mengatakan sesuatu, lalu berhenti. Dia tiba-tiba tampak malu.
"Lupakan saja," gumamnya.
"Tidak, katakan padaku," aku bersikeras. "Apa yang akan kau katakan?"
Dia menendang papan hias di lantai . "Aku semalam bermimpi yang benar-benar menyeramkan," dia akhirnya mengakui, melihat melaluiku pada gorden yang berkibar di jendela.
"Suatu mimpi?" Aku ingat mimpi yang mengerikan.
"Ya. Ada dua anak laki-laki di kamarku Dan mereka bermaksud ..."
"Apa yang mereka lakukan?" tanyaku.
"Aku tak ingat," kata Josh, menghindari mataku. "Aku hanya ingat mereka menakutkan."
"Dan apa yang terjadi?" tanyaku, beralih ke cermin untuk sikat rambutku.
"Aku terbangun," katanya. Dan kemudian menambahkan dengan tak sabar, "Ayo, kita pergi.."
"Apakah anak-anak mengatakan sesuatu kepadamu?" tanyaku.
"Tidak, aku tak berpikir begitu," jawab dia serius. "Mereka hanya tertawa."
"Tertawa?"
"Yah, terkikik, semacam," kata Josh.
"Aku tak ingin membicarakannya lagi," tukasnya. "Apakah kita akan pergi untuk perjalanan bodoh ini, atau tidak?"
"Oke, aku siap,." Kataku, meletakkan sikatku, melihat terakhir kalinya di cermin. "Mari kita pergi untuk perjalanan bodoh ini."
Aku mengikutinya menyusuri koridor. Ketika kami melewati tumpukan pakaian di atap, aku berpikir tentang gadis yang kulihat berdiri di sana. Dan aku berpikir tentang anak laki-laki di jendela ketika kami pertama kali tiba. Dan dua anak laki-laki yang Josh lihat dalam mimpinya.
Aku memutuskan itu membuktikan bahwa Josh dan aku sama-sama sangat gugup tentang pindah ke tempat baru ini. Mungkin Ibu dan Ayah benar. Kami membiarkan imajinasi kita berjalan dengan kami.
Ini pasti imajinasi kami.
Maksudku, apa lagi yang bisa terjadi ?
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
9
Beberapa detik kemudian, kami melangkah ke halaman belakang untuk membawa Petey. Dia senang melihat kami seperti biasa, melompat pada kami dengan cakarnya yang berlumpur, menyalak gembira, berjalan melingkar gila-gilaan melalui dedaunan. Ini menghiburku hanya dengan melihatnya.
Suhu panas dan lembab meskipun langit tampak kelabu. Tak ada angin sama sekali. Pohon-pohon tua yang tebal berdiri diam seperti patung.
Kami turun dari ujung jalanan berkerikil ke jalanan, sepatu kami menendang di, daun-daun coklat kering, Petey berjalan di zigzag di sisi kami, pertama di depan kami, kemudian di belakang.
"Setidaknya Ayah tak meminta kita untuk menyapu semua daun-daun tua ini," kata Josh.
"Dia akan," aku memperingatkan. "Aku tak berpikir dia belum membuka sapu."
Wajah Josh berubah. Kami berdiri di pinggir jalan, memandangi rumah kami, jendela-jendela di lantai dua menatap kembali pada kami seperti mata.
Rumah tetangga sebelah, aku melihat untuk pertama kalinya, ukurannya sama seperti rumah kami, kecuali itu atapnya bukan dari batu bata. Gorden-gorden di ruang tamu ditarik kebawah tertutup. Beberapa jendela lantai atas tertutup. Pohon-pohon tinggi membuat rumah tetangga dalam kegelapan, juga.
"Lewat mana?" tanya Josh, sambil melemparkan sepotong kayu untuk Petey kejar.
Aku menunjuk ke jalan itu.
"Sekolah lewat jalan itu," kataku. "Mari kita periksa."
Jalanan menanjak miring. Josh mengambil satu cabang pohon kecil dari sisi jalan dan menggunakannya sebagai tongkat. Petey terus berusaha mengunyah sementara Josh berjalan.
Kami tak melihat siapa pun di jalanan atau di salah satu halaman depan kami lewati. Tak ada mobil lewat.
Aku mulai berpikir seluruh kota itu kosong, sampai anak itu keluar dari balik bukit yang rendah.
Dia muncul begitu tiba-tiba, baik Josh dan aku berhenti di jalan kami.
"Hai," katanya malu-malu, melambai sedikit pada kami.
"Hai," jawab Josh dan aku pada saat yang sama.
Lalu, sebelum kita menariknya kembali, Petey berlari ke anak itu, mengendus sepatu, dan mulai menggeram dan menyalak. Anak itu melangkah mundur dan mengangkat tangannya seolah-olah ia melindungi dirinya sendiri. Dia terlihat sangat ketakutan.
"Petey - berhenti" teriakku.
Josh meraih anjing dan mengangkatnya, tapi ia terus menggeram.
"Dia tak menggigit," kataku anak itu. "Dia biasanya tak menggonggong juga aku minta maaf.."
"Tak apa-apa," kata anak itu, menatap Petey, yang menggeliat-geliat untuk keluar dari lengan Josh. "Dia mungkin mencium bau sesuatu padaku."
"Petey, berhenti" teriakku.
Anjing itu tak berhenti menggeliat.
"Kau tak ingin diikat - bukan ?"
Anak itu pendek, rambut pirang bergelombang dan mata biru sangat pucat. Dia memiliki hidung yang tampak lucu sepertinya keluar dari satu tempat di wajah seriusnya. Dia mengenakan kaus lengan panjang merah tua meskipun hari itu lembab, dan celana jeans hitam lurus. Dia memiliki topi baseball biru yang dimasukkan ke saku belakang celana jinsnya.
"Aku Amanda Benson," kataku. "Dan ini adalah adikku Josh."
Josh ragu-ragu menempatkan Petey kembali di tanah. Anjing menggonggong sekali, menatap anak itu, merintih pelan, lalu duduk di jalan dan mulai untuk menggaruk dirinya sendiri.
"Aku Ray Thurston," kata anak itu, memasukkan tangan ke saku celana jins, masih menatap waspada pada Petey. Dia tampak lebih santai sedikit, meskipun, melihat anjing yang telah kehilangan minat untuk menggonggong dan menggeram ke arahnya.
Aku tiba-tiba menyadari bahwa Ray tampak akrab. Dimana aku melihatnya sebelumnya? Dimana? Aku menatapnya tajam sampai aku ingat.
Dan lalu aku tersentak kaget tiba-tiba.
Ray adalah anak itu, anak yang di kamarku. Anak laki-laki di jendela.
"Kau -" Aku tergagap menuduh. "Kau di rumah kami"
Dia tampak bingung. "Hah?"
"Kau berada di kamarku - benar kan ?" Aku bersikeras.
Dia tertawa.
"Aku tak mengerti," katanya. "Di kamarmu ?"
Petey mengangkat kepalanya dan memberikan geraman pelan ke arah Ray. Lalu ia kembali ke menggaruk serius.
"Kupikir aku melihatmu," kataku, mulai merasa sedikit ragu. Mungkin itu bukan dia. Mungkin. . . .
"Aku tak berada di rumahmu dalam waktu yang lama," kata Ray, sambil waspada pada Petey.
"Satu waktu yang lama?"
"Ya. Aku dulu tinggal di rumahmu," jawabnya.
"Hah?" Josh dan aku menatapnya dengan heran. "Rumah kami?"
Ray mengangguk. "Ketika kami pertama kali pindah ke sini," katanya. Dia mengambil sebuah kerikil datar dan melemparnya ke jalan.
Petey menggeram, mulai mengejarnya, berubah pikiran, dan menjatuhkannya kembali di jalan, ekornya bergoyang-goyang bersemangat.
Awan tebal turun di langit. Tampaknya akan jadi lebih gelap.
"Di mana kau tinggal sekarang?" tanyaku.
Ray melemparkan batu lagi, kemudian menunjuk jalan itu.
"Apakah kau suka rumah kami?" Josh tanya Ray.
"Ya, itu bagus," kata Ray padanya. "Bagus dan teduh."
"Kau suka itu?" teriak Josh. "Kupikir rumah itu kotor, begitu gelap dan -."
Petey menyela. Dia memutuskan untuk mulai menggonggong pada Ray lagi, berlari sampai ia beberapa senti di depan Ray, lalu mundur. Ray mengambil beberapa langkah hati-hati kembali ke tepi trotoar.
Josh menarik tali dari saku celana pendeknya.
"Maaf, Petey," katanya.
Aku memegang anjing yang menggeram itu sementara Josh memasang tali untuk ban lehernya.
"Dia tak pernah melakukan ini sebelumnya. Sungguh," kataku, meminta maaf kepada Ray.
Tali itu tampaknya membingungkan Petey. Ia menyentak tali itu, menarik Josh ke seberang jalan. Tapi setidaknya dia berhenti menggonggong.
"Mari kita lakukan sesuatu," kata Josh tak sabar.
"Seperti apa?" Ray bertanya, santai lagi sekarang saat Petey diikat tali.
Kami semua berpikir untuk sementara waktu.
"Mungkin kita bisa pergi ke rumahmu" usul Josh pada Ray.
Ray menggeleng. "Tidak, aku tak berpikir begitu," katanya. "Tidak sekarang."
"Dimana semua orang?" Aku bertanya, memandang ke jalan kosong. "Ini benar-benar mati di sini, ya?"
Dia terkekeh. "Ya kukira kau bisa mengatakan itu,." Katanya. "Mau pergi ke taman bermain di belakang sekolah?"
"Ya. Oke," aku setuju.
Kami bertiga menuju jalan, Ray memimpin jalan, aku berjalan beberapa langkah di belakangnya, Josh memegang cabang pohon di satu tangan, tali di tangan lainnya, Petey berlari-lari di jalan ini, maka itu, membuat Josh benar-benar kerja keras waktu itu.
Kami tak melihat gerombolan anak-anak sampai kita berbelok.
Ada sepuluh atau dua belas dari mereka, sebagian besar anak laki-laki namun ada beberapa gadis juga. Mereka tertawa dan berteriak, mendorong satu sama lain, bermain-main karena mereka datang ke arah kami di tengah-tengah jalan. Beberapa dari mereka, aku lihat seusiaku. Sisanya remaja. Mereka mengenakan celana jins dan kaos berwarna gelap. Salah satu gadis berdiri keluar karena dia punya rambut pirang lurus panjang dan memakai celana panjang tipis elastis berwarna hijau.
"Hei, lihat" teriak anak laki-laki jangkung dengan rambut hitam licin, menunjuk pada kami.
Melihat Ray, Josh, dan aku, mereka jadi tenang tetapi tak berhenti bergerak ke arah kami. Beberapa dari mereka tertawa, seolah-olah mereka menikmati lelucon pribadi.
Kami bertiga berhenti dan mengamati mereka mendekat. Aku tersenyum dan menunggu untuk menyapa. Petey menarik-narik tali dan menggonggong kepalanya.
"Hai, teman-teman," kata anak jangkung dengan rambut hitam, menyeringai.
Yang lainnya berpikir ini sangat lucu untuk beberapa alasan. Mereka tertawa. Gadis bercelana panjang hijau memberi sedikit dorongan pada anak laki-laki berambut merah yang hampir membuatnya kepadaku.
"Bagaimana kabarmu, Ray?" tanya seorang gadis dengan rambut hitam pendek, tersenyum pada Ray.
"Tak buruk. Hai, teman-teman ," jawab Ray. Dia berbalik pada Josh dan aku. "Ini adalah beberapa temanku. Mereka semua dari lingkungan ini.."
"Hai," kataku, merasa canggung. Aku berharap Petey berhenti menggonggong dan menarik-narik talinya seperti itu. Josh yang malang pasti memiliki waktu yang mengerikan memeganginya.
"Ini George Carpenter," kata Ray, sambil menunjuk anak laki-laki berambut merah pendek, yang mengangguk. "Dan Jerry Franklin, Karen Somerset, Bill Gregorius..."
Dia berkeliling lingkaran, menyebu nama setiap anak. Kucoba mengingat semua nama, tetapi, tentu saja itu mustahil.
"Bagaimana, kau suka Dark Falls ?" tanya salah seorang gadis kepadaku.
"Aku tak benar-benar tahu," kataku. "Ini hari pertamaku di sini, sungguh. Sepertinya bagus.."
Beberapa anak tertawa pada jawabanku, untuk beberapa alasan.
"Anjing jenis apa itu?" tanya George Carpenter pada Josh.
Josh, memegang erat pegangan tali, mengatakan kepadanya. George menatap tajam Petey, mempelajarinya, seolah-olah ia belum pernah melihat anjing seperti Petey sebelumnya.
Karen Somerset, gadis tinggi cantik dengan rambut pirang pendek, mendatangiku sementara beberapa anak-anak lain mengagumi Petey.
"Kau tahu, aku dulu tinggal di rumahmu," katanya pelan.
"Apa?" Aku tak yakin aku akan mendengarnya dengan benar.
"Mari kita pergi ke taman bermain," kata Ray, menyela.
Tak ada yang menanggapi usulan Ray.
Mereka jadi tenang. Bahkan Petey berhenti menggonggong.
Apakah Karen benar-benar mengatakan bahwa ia dulu tinggal di rumah kami? Aku ingin bertanya, tapi ia melangkah kembali ke dalam lingkaran anak-anak.
Lingkaran itu.
Mulutku ternganga saat aku menyadari bahwa mereka telah membentuk lingkaran di sekitar Josh dan aku.
Aku merasakan tikaman ketakutan. Apakah aku membayangkan itu? Apakah sesuatu yang terjadi?
Mereka semua tiba-tiba tampak berbeda bagiku. Mereka tersenyum, namun wajah mereka tegang, waspada, seolah-olah mereka mengharapkan masalah.
Dua dari mereka, aku sadari, membawa pemukul bisbol. Gadis dengan celana hijau menatapku, menatapku dari atas dan bawah, memeriksaku dari luar.
Tak ada yang berkata-kata. Jalan itu hening kecuali Petey, yang sekarang merintih pelan.
Aku tiba-tiba merasa sangat takut.
Mengapa mereka menatap kami seperti itu?
Atau imajinasiku melarikan diriku lagi?
Aku berpaling ke Ray, yang masih di sampingku. Dia tidak melihat semua masalah itu sama sekali. Tapi dia tak menatapku kembali.
"Hei, teman-teman -" kataku. "Apa yang terjadi?"
Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi suaraku sedikit gemetar.
Aku menatap Josh. Dia sedang sibuk menenangkan Petey dan belum menyadari bahwa hal-hal itu telah berubah.
Kedua anak laki-laki dengan pemukul bisbol menahan pemukul setinggi pinggang dan bergerak maju.
Aku melihat ke sekeliling lingkaran,perasaan takut mencekam dadaku.
Lingkaran diperketat. Anak-anak itu mendekati kami.
bersambung klik di sini
Dan sekarang, seminggu kemudian, di sini kami di Dark Falls, empat jam berkendaraan dari rumah kami, melihat rumah baru kami untuk pertama kalinya. Kami bahkan belum berjalan masuk ke dalam, dan Josh telah berusaha menyeret Ayah kembali ke mobil.
"Josh - berhentilah menarikku," bentak Ayah tak sabar, berusaha menarik tangannya dari genggaman Josh.
Ayah melirik tak berdaya kepada Mr Dawes. Aku bisa melihat bahwa ia malu dengan cara Josh. Aku memutuskan mungkin aku bisa membantu.
"Ayo pergi, Josh," aku berkata pelan, sambil meraih bahunya. "Kita telah berjanji bahwa kita akan memberi satu kesempatan pada Dark Fall- Ingat ?"
"Aku sudah memberinya kesempatan," rengek Josh, tak melepaskan tangan Ayah. "Rumah ini sudah tua dan jelek dan aku membencinya."
"Kau bahkan belum masuk ke dalam," kata Ayah marah.
"Ya. Mari kita pergi,." Desak Mr Dawes, menatap Josh.
"Aku tetap di luar," tegas Josh.
Ia kadang-kadang dapat benar-benar menjadi keras kepala. Aku merasa sama tak bahagianya seperti Josh saat melihat kegelapan ini, rumah tua. Tapi aku tak pernah melakukan cara Josh.
"Josh, kau tak ingin memilih kamarmu sendiri?" Tanya Ibu.
"Tidak," gumam Josh.
Dia dan aku sama-sama melirik ke lantai dua. Ada dua sisi jendela besar yang melanjur berdampingan di atas sana. Mereka tampak seperti dua mata gelap yang menatap kembali pada kami.
"Berapa lama Anda tinggal di rumah Anda sekarang?" tanya Mr Dawes kepada Ayah.
Ayah harus berpikir untuk sedetik.
"Sekitar empat belas tahun," jawabnya. "Anak-anak harus tinggal di sana sepanjang hidup mereka."
"Pindah itu selalu sulit," kata Mr Dawes simpatik, tatapannya beralih padaku. "Kau tahu, Amanda, aku pindah ke sini untuk Dark Fall hanya beberapa bulan yang lalu. Pada awalnya aku juga tak menyukainya. Tapi sekarang aku tak akan tinggal di tempat lain."
ia mengedipkan matanya padaku. Dia memiliki lesung pipit manis di dagunya ketika ia tersenyum.
"Mari kita masuk Ini benar-benar cukup bagus. Kau akan terkejut."
Semua dari kami mengikuti Mr Dawes, kecuali Josh.
"Apakah ada anak-anak lain di blok ini?" tuntut Josh.
Ia membuatnya terdengar lebih seperti sebuah tantangan daripada pertanyaan.
Mr Dawes mengangguk. "
Sekolah hanya dua blok jauhnya," katanya, sambil menunjuk jalanan.
"Lihat?" Ibu dengan cepat memotong "Satu jalan kaki yang pendek ke sekolah. Tak ada perjalanan bus yang lebih panjang setiap pagi."
"Aku suka bus," tegas Josh.
Pikirannya sudah bulat. Dia tak akan memberikan orang tuaku istirahat, meskipun kami berdua berjanji untuk berpikiran terbuka tentang langkah ini.
Aku tak tahu apa Josh berpikir ia harus mendapatkannya dengan menjadi seperti sakit. Maksudku, Ayah sudah memiliki banyak hal yang dikhawatirkan. Untuk satu hal, ia belum bisa menjual rumah lama kita.
Aku tak menyukai gagasan pindah. Tapi aku tahu bahwa mewarisi rumah besar ini adalah satu kesempatan besar bagi kami. Kami sangat terkekang di rumah kecil kami. Dan sekali Ayah berhasil menjual tempat lama itu, kami tak perlu khawatir sama sekali tentang uang lagi.
Josh setidaknya harus memberikan satu kesempatan. Itulah yang aku pikir.
Tiba-tiba, dari mobil kami di kaki jalan, kami mendengar Petey menggonggong, melolong dan membuat keributan.
Petey adalah anjing kami, terrier putih berambut keriting, lucu seperti suatu tombol, dan biasanya berperilaku baik. Dia tak pernah perduli jika di tinggal dalam mobil. Tapi sekarang dia menggonggong panjang, bersuara dengan suara penuh dan menggaruk di jendela mobil, sangat ingin keluar.
"Petey - Tenang Tenang" teriakku.
Petey biasanya mendengarkanku.
Tapi kali ini tidak.
"Aku akan biarkan dia keluar" kata Josh, dan bergerak menuruni jalan menuju mobil.
"Tidak. Tunggu dulu -" panggil Ayah.
Tapi kupikir Josh tak akan mendengarnya saat Petey meraung.
"Mungkin baik juga membiarkan anjing itu menjelajah," kata Mr Dawes. "Ini akan jadi rumahnya juga."
Beberapa detik kemudian, Petey datang menyerbu melintasi halaman, menendang daun coklat, menyalak dengan penuh semangat sambil berlari menghampiri kami. Dia melompat pada kami semua seolah-olah dia tak melihat kami dalam beberapa minggu dan kemudian, untuk mengejutkan kami, dia mulai menggeram mengancam dan menggonggong pada Mr Dawes.
"Petey - berhenti" teriak Ibu.
"Dia tak pernah melakukan ini," kata Ayah minta maaf. "Sungguh, biasanya ia sangat ramah."
"Dia mungkin mencium bau sesuatu padaku. Mungkin anjing lain," kata Mr Dawes, melonggarkan dasi bergarisnya, tampak waspada pada anjing kami yang menggeram.
Akhirnya, Josh menangkap pinggang Petey dan mengangkatnya menjauh dari Mr Dawes.
"Hentikan, Petey," omel Josh, memegang anjing itu ke dekat wajahnya sehingga hidung mereka saling berhadapan. "Mr Dawes adalah teman kita."
Petey merintih dan menjilati wajah Josh. Setelah beberapa saat, Josh menempatkannya kembali ke tanah. Petey menatap Mr Dawes, lalu menatapku, kemudian memutuskan untuk pergi mengendus-endus di sekitar halaman, membiarkan hidungnya menunjukkan jalan.
"Ayo masuk," desak Mr Dawes, ia menggerakkan satu tangannya melalui rambut pendeknya yang pirang. Dia membuka pintu depan dan mendorongnya terbuka.
Mr Dawes memegang layar pintu membukanya bagi kami. Aku mulai mengikuti orang tuaku ke dalam rumah.
"Aku akan tinggal di luar sini dengan Petey," desak Josh dari jalan.
Ayah mulai protes, tapi ia berubah pikiran.
"Oke. Baik," katanya, mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Aku tak mau berdebat denganmu. Jangan masuk ke dalam. Kau dapat hidup di luar jika kau inginkan."
Dia terdengar sangat putus asa.
"Aku ingin tinggal dengan Petey," kata Josh lagi, menonton hidung Petey yang menerobos alas bunga yang mati itu.
Mr Dawes mengikuti kami ke lorong, menutup perlahan layar pintu di belakangnya, memberikan Josh pandangan sekilas yang terakhir.
"Dia akan baik-baik," katanya lembut, tersenyum pada Ibu.
"Dia bisa sangat keras kepala kadang-kadang," kata Ibu meminta maaf. Dia mengintip ke ruang tamu. "Aku benar-benar menyesal tentang Petey, aku tak tahu apa yang terjadi pada anjing itu."
"Tak masalah. Mari kita mulai di ruang tamu," kata Mr Dawes, memimpin jalan. "Kupikir Anda akan terkejut betapa luas ruangan itu. Tentu saja, itu memerlukan pekerjaan."
Dia membawa kami satu perjalanan pada setiap ruangan di rumah. Aku mulai merasa senang. Rumah itu benar-benar rapi. Ada begitu banyak kamar dan begitu banyak lemari. Dan kamarku sangat besar dan memiliki kamar mandi sendiri dan satu kursi jendela bergaya kuno di mana aku bisa duduk di jendela dan melihat ke bawah pada jalan.
Aku berharap Josh masuk ke dalam dengan kami. Jika dia bisa melihat betapa besar isi rumah itu, aku tahu dia akan mulai terhibur.
Aku tak bisa percaya betapa banyak ruangan yang ada. Bahkan loteng penghabisan diisi dengan perabotan tua dan rak tua, kardus misterius bisa kita jelajahi.
Kita harus berada di dalam selama setidaknya selama setengah jam. Aku tak benar-benar memperhatikan waktu. aku pikir kami bertiga semuanya merasa terhibur.
"Yah, kupikir aku telah menunjukkan kalian semuanya," kata Mr Dawes, melirik jam tangannya. Dia memimpin jalan ke pintu depan.
"Tunggu - Aku ingin melihat kamarku sekali lagi," kataku penuh semangat.
Aku mulai menaiki tangga, menaiki dua tangga sekaligus. "Aku akan turun dalam hitungan detik."
"Cepat, Sayang aku yakin Mr Dawes memiliki janji lain,." Panggil Ibu setelahku.
Aku mencapai lantai dua dan bergegas menyusuri lorong sempit dan masuk ke kamar baruku.
"Wow"
Aku berkata keras-keras, dan kata itu bergema samar-samar pada dinding kosong.
Kamar ini begitu besar. Dan aku menyukai jendela yang menonjol dengan kursi dekat jendela. Aku berjalan keluar dan mengintip keluar. Melalui pepohonan, aku bisa melihat mobil kami di jalan masuk dan, di luar itu, sebuah rumah yang tampak mirip sekali seperti rumah kami di seberang jalan.
Aku akan menaruh tempat tidurku ke dinding yang di seberang jendela, pikirku senang. Dan mejaku bisa berada di sana. Aku sekarang akan memiliki ruang untuk komputer
Aku memandang lemariku lebih satu kali, satu jarak yang panjang dalam lemari dengan cahaya di langit-langit, dan susunan rak-rak lebar yang berlawanan di dinding belakang.
Aku sedang menuju ke pintu, berpikir tentang posterku yang mana yang ingin kubawa, saat aku melihat anak itu.
Dia berdiri di ambang pintu selama sedetik. Dan kemudian ia berbalik dan menghilang di ujung lorong.
"Josh?" Aku berteriak. "Hei - kemari lihatlah"
Dengan terkejut, saya menyadari itu bukan Josh.
Untuk satu hal, anak itu memiliki rambut pirang.
"Hei " panggilku dan berlari ke lorong, berhenti tepat di luar pintu kamarku, melihat ke dua arah.
"Siapa di sini?"
Tapi lorong yang panjang itu kosong. Semua pintu ditutup.
"Wah, Amanda," kataku keras-keras.
Apakah aku melihat sesuatu?
Ibu dan Ayah memanggil dari lantai bawah. Aku melihat untuk terakhir kali menyusuri gang yang gelap, kemudian bergegas untuk bergabung kembali mereka.
"Hei, Mr Dawes," aku memanggilnya saat berlari menuruni tangga, "apakah ini rumah hantu?"
Dia tertawa kecil. Pertanyaan itu tampaknya tampak lucu baginya.
"Tidak. Maaf," katanya, menatapku dengan mata birunya yang berkerut. "Tidak termasuk hantu. Banyak rumah-rumah tua di sekitar sini dikatakan angker Tapi aku takut ini bukan salah satu dari mereka..."
"Aku - kukira aku melihat sesuatu," kataku, merasa sedikit bodoh.
"Mungkin hanya bayangan," kata Ibu. "Dengan semua pohon itu, rumah ini begitu gelap."
"Kenapa kau tak lari keluar dan memberitahu Josh tentang rumah," saran Ayah, sambil menyelipkan bagian depan kemejanya. "Ibumu dan aku memiliki beberapa hal untuk dibicarakan dengan Mr Dawes."
"Ya, Tuan," kataku dengan sedikit membungkuk, dan menurut, berlari keluar untuk memberitahu Josh semua tentang apa yang telah dilewatkannya.
"Hei, Josh," seruku, bersemangat mencarinya di halaman. "Josh?"
Hatiku gelisah.
Josh dan Petey sudah pergi.
2
"Josh Josh"
Pertama-tama aku memanggil Josh. Lalu aku memanggil Petey. Tapi tak ada tanda-tanda dari mereka.
Aku berlari ke ujung jalan dan mengintip ke dalam mobil, tapi mereka tak ada. Ibu dan Ayah masih berada di dalam berbicara dengan Mr Dawes. Aku melihat sepanjang jalan di kedua arah, tapi tak ada tanda-tanda mereka.
" Josh, Hei Josh"
Akhirnya, Ibu dan Ayah bergegas keluar dari pintu depan, tampak gelisah. Kukira mereka mendengar teriakanku.
"Aku tak bisa menemukan Josh atau Petey" teriakku kepada mereka dari jalan.
"Mungkin mereka ada di belakang," seru Ayah kepadaku.
Aku menuju jalan masuk, menendang jauh daun-daun kering saat aku berlari. Ini adalah hari yang cerah di atas jalan, tapi begitu aku memasuki halaman rumah kami, aku kembali di tempat teduh, dan itu segera menjadi dingin lagi.
"Hei, Josh Josh - Di mana kau?"
Mengapa aku merasa begitu takut? Itu wajar bagi Josh untuk berkeliaran. Dia melakukannya sepanjang waktu.
Aku berlari dengan kecepatan penuh di sepanjang sisi rumah. Pohon-pohon tinggi miring ke atas rumah di sisi ini, menghalangi hampir semua dari sinar matahari.
Halaman belakang lebih besar dari yang kuduga, satu persegi panjang yang panjang miring secara berangsur-angsur turun ke pagar kayu di belakang. Sama seperti bagian depan, pada halaman ini banyak rumput-rumput tinggi, menyembul melalui suatu dedaunan cokelat yang tebal. Sebuah patung burung terguling ke samping. Selain itu, aku bisa melihat sisi dari garasi, gelap, bangunan dari batu bata yang cocok rumah.
"Hei - Josh"
Dia tak ada di belakang sini. Aku berhenti dan mencari jejak di tanah atau tanda bahwa ia telah berjalan melalui dedaunan yang tebal.
"Bagaimana?" Dengan terengah-engah Ayah berlari datang padaku.
"Tak ada tanda darinya," kataku, terkejut betapa dengan rasa khawatirku.
"Kau telah memeriksa mobil?"
Dia terdengar lebih marah daripada khawatir.
"Ya itu. Itu tempat pertama yang kulihat." Aku mengadakan pencarian terakhir dengan cepat di halaman belakang. "Aku tak percaya Josh pergi begitu saja." ]
"Aku juga," kata Ayah, dia memutar matanya. "Kau tahu saudaramu saat dia tak mendapatkan cara. Mungkin dia ingin kita berpikir dia minggat dari rumah.."
Dia mengerutkan dahi.
"Di mana dia?" tanya Ibu setelah kami kembali ke depan rumah.
Ayah dan aku sama-sama mengangkat bahu.
"Mungkin dia mendapat teman dan keluyuran," kata Ayah.
Dia mengangkat tangan dan menggaruk rambut keriting cokelatnya. Aku bisa mengatakan bahwa ia mulai khawatir juga.
"Kita harus menemukannya," kata Ibu, memandang ke jalan. "Dia tak tahu lingkungan ini sama sekali. Dia mungkin berjalan-jalan dan tersesat.."
Mr Dawes mengunci pintu depan dan melangkah turun dari beranda, mengantongi kunci.
"Dia tak bisa pergi terlalu jauh," katanya, memberi Ibu satu senyum meyakinkan. "Mari kita berkendaraan di sekitar blok ini. Aku yakin kita akan menemukannya."
Ibu menggeleng dan melirik gugup pada Ayah.
"Aku akan membunuhnya," gumamnya.
Ayah menepuk-nepuk bahunya.
Mr Dawes membuka bagasi dari Honda kecil, melepas jas gelapnya, dan melemparkannya ke dalam. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu berpinggiran lebar, topi koboi hitam dan memakainya di atas kepalanya.
"Hei - itu topi yang pas," kata Ayah, naik ke kursi penumpang depan.
"Melindungi dari matahari," kata Mr Dawes, meluncur di belakang kemudi dan membanting pintu mobil.
Ibu dan aku di belakang. Sambil melirik ke arahnya, aku melihat bahwa Ibu sama khawatir seperti aku.
Kami menuju ke blok dalam keheningan, kami berempat menatap keluar dari jendela mobil. Rumah-rumah yang kami lewati semuanya tampak tua. Sebagian dari mereka bahkan lebih besar daripada rumah kami. Semua rumah tampak berada dalam kondisi yang baik, dicat secara baik dengan rapi, dipangkas rumput dengan baik.
Aku tak melihat ada orang di rumah atau pekarangan, dan tak ada seorang pun di jalan.
Ini tentunya suatu lingkungan yang tenang, pikirku. Dan teduh. Rumah-rumah semua tampaknya dikelilingi oleh pohon-pohon berdaun tinggi. Di halaman depan kami melaju perlahan melewatinya, semuanya tampak dimandikan dalam bayangan. Jalan merupakan satu-satunya tempat cerah, satu pita emas sempit yang berlari melalui bayangan pada kedua sisi.
Mungkin itu sebabnya ini disebut Dark Fall (Air Terjun Gelap), pikirku.
"Mana anakku?" Ayah bertanya, menatap tajam ke luar kaca depan.
"Aku akan membunuhnya. Aku akan benar-benar membunuhnya," gumam Ibu.
Ini bukan pertama kalinya dia mengatakan begitu tentang Josh.
Kami sudah berjalan di sekeliling blok dua kali. Tak ada tanda darinya.
Mr Dawes menyarankan agar kami berkendaraan mengelilingi beberapa blok berikutnya, dan Ayah segera setuju.
"Kuharap aku juga tak tersesat. Aku juga baru di sini. " kata Mr Dawes, berputar pada suatu tikungan.
"Hei, ada sekolah," Dia memberitahu, sambil menunjuk ke luar dari jendela sebuah bangunan tinggi berbata merah. Bangunan ini tampak sangat kuno, dengan lajur-lajur putih di kedua sisi pintu depan berganda.
"Tentu saja, itu tertutup sekarang," tambah Mr Dawes.
Mataku mencari di taman bermain berpagar di belakang sekolah. Kosong. Tak ada orang di sana.
"Bisakah Josh telah berjalan sejauh ini?" Ibu bertanya, suaranya kuat dan lebih tinggi dari biasanya.
"Josh tak berjalan," kata Ayah, dia memutar matanya. "Dia berlari."
"Kita akan menemukannya," kata Mr Dawes percaya diri, menekan jari-jarinya pada setir saat dia mengemudi.
Kami berbelok ke sudut blok lain yang teduh. Suatu tanda jalan berbunyi "Hard Cemetery," dan tampak meyakinkan, sebuah pemakaman besar tampak di depan kami. Granit batu nisan berguling sepanjang bukit rendah, yang miring ke bawah dan kemudian naik lagi ke bentangan datar yang besar, juga ditandai dengan barisan nisan rendah dan monumen-monumen.
Beberapa semak menandai beberapa kuburan, tapi tak ada banyak pohon. Saat kami melaju perlahan melewatinya, batu-batu nisan lewat dalam kabut di sebelah kiri, aku menyadari bahwa ini adalah tempat yang paling banyak cahaya mataharinya yang pernah kulihat di seluruh kota.
"Itu anak Anda." Mr Dawes, menunjuk ke luar jendela, menghentikan mobil tiba-tiba.
"Oh, syukurlah" Ibu berseru, membungkuk untuk melihat keluar jendela mobil di sisiku.
Tentu saja, itu Josh, berlari liar di sepanjang suatu deretan bengkok batu nisan putih yang rendah.
"Apa yang dilakukannya di sini?" tanyaku, mendorong membuka pintu mobilku.
Aku melangkah turun dari mobil, berjalan beberapa langkah ke rumput, dan memanggilnya. Pada awalnya, ia tak bereaksi terhadap teriakanku. Dia tampak merunduk dan menghindar melalui batu nisan. Dia berlari dalam satu arah, kemudian memotong ke sisi itu, kemudian menuju ke arah lain.
Mengapa ia melakukan itu?
Aku mengambil beberapa langkah lagi - dan kemudian berhenti, dicekam ketakutan.
Tiba-tiba aku menyadari mengapa Josh melesat dan merunduk seperti itu, berlari sangat liar melalui batu nisan. Dia sedang dikejar.
Seseorang - atau sesuatu - mengejarnya.
3
Lalu, saat aku melangkah enggan menuju Josh, mengawasinya membungkuk rendah, kemudian mengubah arah, lengannya terentang saat ia berlari, aku sadar bahwa aku mandapati ini terbalik sama sekali.
Josh tak dikejar. Josh mengejar.
Dia mengejar Petey.
Oke, oke. Jadi kadang-kadang imajinasiku berjalan jauh bersamaku. Berlari melalui pemakaman tua seperti ini - bahkan di siang hari yang cerah - itu hanya alami bagi seseorang yang mungkin mulai memiliki pikiran aneh.
Aku memanggil Josh lagi, dan kali ini ia mendengarku dan berbalik. Dia tampak khawatir.
"Amanda - ke sini bantu aku" teriaknya.
"Josh, ada masalah apa?" Aku berlari secepat yang aku bisa untuk mengejarnya, tapi ia terus melesat melalui batu nisan, bergerak dari satu baris ke baris lainnya.
"Tolong"
"Josh - apa yang salah?"
Aku berbalik dan melihat bahwa Ayah dan Ibu tepat di belakangku.
"Petey," Josh menjelaskan, sambil kehabisan napas. "Aku tak bisa menghentikannya, aku menangkapnya sekali,. Tapi dia menjauh dariku."
"Petey, Petey" Ayah mulai memanggil anjing itu.
Tapi Petey bergerak dari satu batu ke batu lainnya, mengendus masing-masing, kemudian berlari ke yang berikutnya.
"Bagaimana kau bisa dapat berjalan ke sini?" tanya Ayah berusaha menangkapnya dengan adikku.
"Aku mengikuti Petey," Josh menjelaskan, masih tampak sangat cemas. "Dia terlepas begitu saja. Satu detik dia mengendus-endus sekitar alas bunga mati di halaman depan kami. Detik berikutnya, dia mulai berlari. Dia tak berhenti ketika kupanggil. Bahkan tak pernah melihat ke belakang. Dia terus berlari sampai dia tiba di sini. Aku harus mengikuti. Aku takut dia akan tersesat.. "
Josh berhenti dan bersyukur membiarkan Ayah mengambil alih pengejaran.
"Aku tak tahu apa masalah anjing bodoh itu," katanya padaku. "Dia agak aneh."
Ayah perlu beberapa kali mencoba, tapi akhirnya dia berhasil meraih Petey dan mengangkatnya dari tanah. Anjing terrier kecil kami memperlihatkan jeritan protes setengah hati, kemudian membiarkan dirinya dibawa pergi.
Kita semua beramai-ramai berjalan kembali ke mobil di sisi jalan. Mr Dawes sedang menunggu di mobil.
"Mungkin lebih baik Anda membeli tali untuk anjing itu," katanya, tampak sangat prihatin.
"Petey tak pernah memakai tali," protes Josh, dengan letih naik ke kursi belakang.
"Yah, kita mungkin harus mencoba satu kali untuk sementara waktu," kata Ayah pelan. "Terutama jika dia terus melarikan diri."
Ayah melemparkan Petey ke kursi belakang. Anjing bersemangat itu meringkuk dalam pelukan Josh.
Sisa dari kami masuk ke dalam mobil, dan Mr Dawes mengantar kami kembali ke kantornya, sebuah bangunan kecil putih beratap datar di ujung deretan kantor kecil. Saat kami melaju, aku mengulurkan tangan dan membelai bagian belakang kepala Petey.
Mengapa anjing itu lari seperti itu? Aku bertanya-tanya. Petey tak pernah melakukan itu sebelumnya.
Kukira Petey juga kesal akan kepindahan kami. Setelah Petey telah menghabiskan seluruh hidupnya di rumah lama kita. Dia mungkin merasa seperti Josh dan aku tentang harus berkemas, pindah dan tak pernah melihat lingkungan lama lagi.
Rumah baru, jalan baru, dan semua bau baru mestinya anjing malang itu mengalami kepanikan. Josh ingin lari dari seluruh ide. Dan begitu pula Petey.
Pokoknya, itu teoriku.
Mr Dawes memarkir mobil di depan kantor kecil, menjabat tangan Ayah, dan memberinya kartu nama.
"Anda bisa datang minggu depan," katanya kepada Ibu dan Ayah. "Aku akan menyelesaikan semua pekerjaan yang disahkan oleh hukum setelah ini. Setelah Anda menandatangani surat-surat, Anda dapat pindah kapan saja.."
Dia membuka pintu mobil dan, memberi kami semua senyum terakhir, siap untuk naik keluar.
"Dawes Compton," kata Ibu, membaca kartu nama putih di bahu Ayah. "Itu nama yang tak biasa. Apakah Compton nama tua keluarga ?"
Mr Dawes menggelengkan kepala.
"Tidak," katanya, "Hanya aku yang bernama Compton dalam keluargaku, aku tak tahu mana nama ini berasal. Tak tahu sama sekali. Mungkin orang tuaku tak tahu bagaimana mengeja Charlie"
Menertawakan leluconnya yang mengerikan, ia keluar dari mobil, menurunkan topi hitam lebar Stetson di kepalanya, menarik jasnya dari bagasi, dan menghilang ke dalam gedung putih kecil.
Ayah naik di belakang kemudi, menggerakkan mundur kursi untuk membuat ruang untuk perutnya yang besar. Ibu berada di depan, dan kami mulai perjalanan pulang yang panjang.
"Kukira kau dan Petey sudah cukup berpetualang hari ini," kata Ibu pada Josh, menggulung jendela karena Ayah menyalakan AC.
"Aku kira," kata Josh tak bersemangat.
Petey tertidur lelap di pangkuannya, mendengkur pelan.
"Kau akan menyukai kamarmu," kataku Josh. "Seluruh rumah itu besar. Benar-benar.."
Josh menatapku serius, tapi tak menjawab.
Aku menyodok tulang rusuknya dengan sikuku.
"Katakan sesuatu. Bukankah kau dengar apa kataku?."
Tapi aneh, pandangan berpikir tak memudar dari wajah Josh.
***
Beberapa minggu ke depan sepertinya berjalan lambat. Aku berjalan di sekitar rumah berpikir tentang bagaimana aku tak akan pernah melihat kamarku lagi, bagaimana aku tak akan pernah sarapan di dapur ini lagi, bagaimana aku tak akan pernah menonton TV di ruang tamu lagi. Hal-hal yang mengerikan seperti itu.
Aku punya perasaan sakit ketika para tukang pemindah barang-barang datang suatu sore dan mengantarkan tumpukan karton yang tinggi. Waktunya berkemas. Ini benar-benar terjadi. Meskipun itu di tengah sore hari, aku naik ke kamarku dan menjatuhkan diri di tempat tidur. Aku tak tidur atau apa pun. Aku hanya menatap langit-langit selama lebih dari satu jam, dan semua hal liar, pikiran yang tak berhubungan melintas di benakku, seperti sebuah mimpi, hanya aku sudah bangun.
Aku bukan satu-satunya yang gugup akan pindah. Ibu dan Ayah saling membentak satu sama lain tanpa sebab. Suatu pagi mereka bertengkar hebat mengenai apakah daging itu terlalu kering atau tidak.
Dalam satu hal, itu lucu melihat mereka begitu kekanak-kanakan. Josh bertingkah sangat murung sepanjang waktu. Dia hampir tak berbicara sepatah kata pun kepada siapa pun. Dan Petey merajuk juga. Anjing bodoh itu bahkan tak mengambil dan datang kepadaku saat aku punya sisa (makanan dari) meja untuknya.
Kukira bagian tersulit tentang pindah adalah berkata selamat tinggal kepada teman-temanku. Carol dan Amy sedang pergi di kamp, jadi aku harus menulis kepada mereka. Tapi Kathy di rumah, dan dia adalah temanku yang paling lama, paling baik, dan paling sulit untuk mengatakan selamat tinggal.
Kupikir beberapa orang terkejut bahwa Kathy dan aku tetap menjadi teman baik. Untuk satu hal, kami kelihatan begitu berbeda. Aku tinggi, kurus dan gelap, dan dia berkulit kuning langsat, dengan rambut pirang panjang, dan sedikit gemuk. Tapi kami telah berteman sejak TK, dan sahabat terbaik sejak kelas empat.
Ketika dia datang malam sebelum pindah, kami berdua sangat kikuk.
"Kathy, kau tak boleh gugup," kataku. "Kau bukan orang pertama yang pindah menjauh selamanya."
"Ini tak seperti pindahmu ke Cina atau lainnya," jawabnya, mengunyah keras permen karetnya. "Dark Falls hanya empat jam jauhnya, Amanda. Kita akan banyak bertemu .."
"Ya, kurasa," kataku. Tapi aku tak percaya. Empat jam perjalanan seburuk seperti di Cina, sejauh kerisauanku.
"Kukira kita masih bisa berbicara di telepon," kataku murung.
Dia meniup gelembung hijau kecil, kemudian diisap lagi ke dalam mulutnya.
"Ya. Tentu," katanya, pura-pura antusias. "Kau beruntung, kau tahu. Pindah keluar dari lingkungan kumuh ke rumah besar.."
"Ini bukan lingkungan kumuh," aku bersikeras. Aku tak tahu mengapa aku membela lingkungan ini. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Salah satu hiburan favorit kami adalah memikirkan tempat kami akan tumbuh dewasa.
"Sekolah tak akan sama tanpa dirimu," dia menghela napas, melingkarkan kakinya di bawah kursi. "Siapa yang akan memberiku jawaban matematika?"
Aku tertawa.
"Aku selalu memberimu jawaban yang salah."
"Tapi itu adalah pemikiran yang berarti," kata Kathy. Dan kemudian dia mengerang. "Ugh , pelajar SMP. Apakah pelajar SMP itu bagian dari SMA atau bagian dari SD?"
Aku membuat wajah jijik. "Semuanya dalam satu kesatuan. Ini adalah kota kecil, ingat ? Tak ada SMA yang terpisah.? Setidaknya, aku tak melihat satupun."
"Nyebelin," katanya.
Nyebelin memang benar.
Kami mengobrol selama berjam-jam. Sampai ibu Kathy menelepon dan mengatakan sudah waktunya dia pulang.
Lalu kami berpelukan. Aku telah memutuskan bahwa aku tak akan menangis, tapi aku bisa merasakan, air mata besar yang panas terbentuk di sudut mataku. Dan kemudian mengalir di pipiku.
"Aku sangat menyedihkan" ratapku.
Aku telah merencanakan untuk benar-benar terkontrol dan matang. Tapi Kathy adalah teman terbaikku, setelah semuanya, dan apa yang bisa kulakukan?
Kami membuat janji bahwa kami akan selalu bersama-sama pada hari ulang tahun kami - tak peduli apa pun. Kami akan memaksa orangtua kami untuk memastikan kami tak melewatkan hari ulang tahun masing-masing.
Dan kemudian kami berpelukan lagi.
Dan Kathy berkata, "Jangan khawatir Kita akan banyak bertemu.. Sungguh."
Dan matanya berlinang air mata juga.
Dia berbalik dan berlari keluar pintu. Pintu kasa terbanting keras di belakangnya. Aku berdiri di sana menatap ke dalam kegelapan sampai Petey datang berlari terburu-buru ke dalam, kuku kakinya berbunyi di linoleum, dan mulai menjilati tanganku.
***
Keesokan paginya, hari pindah, hari Sabtu hujan. Bukan hujan deras. Tak ada guntur atau petir. Tapi hanya hujan dan angin yang cukup membuat perjalanan panjang menjadi lambat dan tak menyenangkan.
Langit tampak jadi lebih gelap saat kami mendekati lingkungan baru. Pohon-pohon yang padat membungkuk rendah di atas jalan.
"Pelan-pelan, Jack," kata Ibu nyaring. "Jalan ini benar-benar licin."
Tapi Ayah terburu-buru untuk sampai ke rumah sebelum van (pengangkut barang-barang yang dibawa) pindah itu.
"Mereka akan menempatkan barang-barang di mana saja jika kita tak disana untuk mengawasi," jelasnya.
Josh, di sampingku di bangku belakang, merasa benar-benar sakit, seperti biasanya. Dia terus mengeluh bahwa ia haus. Ketika itu tak berhasil, ia mulai merengek bahwa ia kelaparan. Tapi kami semua telah sarapan besar, sehingga itu pun tak mendapatkan reaksi apapun.
Dia hanya ingin perhatian, tentu saja. Aku terus mencoba untuk menghiburnya dengan mengatakan kepadanya betapa besar di dalam rumah itu dan seberapa besar kamarnya. Dia belum melihatnya.
Tapi dia tak ingin dihibur. Dia mulai bergulat dengan Petey, membuat anjing malang itu bekerja, sampai Ayah harus berteriak padanya untuk berhenti.
"Mari kita semua berusaha keras untuk tak membuat gelisah satu dengan yang lain," usul Ibu.
Ayah tertawa.
"Ide bagus, Sayang."
"Jangan mengejekku," bentak Ibu.
Mereka mulai berdebat tentang siapa yang lebih lelah dari semua pengepakan. Petey berdiri di atas kaki belakangnya dan mulai menggonggong di jendela belakang.
"Tak bisakah kau membuatnya diam?" Ibu menjerit.
Aku menarik Petey, tapi ia berjuang kembali dan mulai menggonggong lagi.
"Dia pernah tak melakukan ini sebelumnya," kataku.
"Buat ia tenang" desak Ibu.
Aku menarik turun kaki belakang Petey, dan Josh mulai melolong. Ibu berbalik dan memberinya pandangan jelek. Josh tak berhenti melolong, meskipun dia tahu itu salah. Dia pikir dia pengacau.
Akhirnya, Ayah menghentikan mobil di jalan masuk rumah baru. Suara ban berdecit di atas kerikil basah. Hujan memukul-mukul atap.
"Rumah, rumah yang indah," kata Mama.
Aku tak tahu apakah dia sedang menyindir atau tidak. Kupikir dia benar-benar senang perjalanan panjang dengan mobil berakhir.
"Setidaknya kita mengalahkan (van pengangkut barang-barang) pindah ," kata Ayah, sambil melirik jam tangannya. Lalu ekspresinya berubah. "Semoga mereka tak tersesat."
"Ini gelap seperti malam hari di luar sana," keluh Josh.
Petey melompat-lompat di pangkuanku, putus asa untuk keluar dari mobil. Dia biasanya wisatawan yang baik. Tapi begitu mobil berhenti, ia ingin segera keluar.
Aku membuka pintu mobilku dan dia melompat ke jalan masuk dengan satu lompatan dan mulai berjalan liar zigzag liar di halaman depan.
"Setidaknya seseorang senang berada di sini," kata Josh pelan.
Ayah berlari ke beranda dan, meraba-raba dengan kunci asing, berusaha membuka pintu depan. Lalu ia memberi isyarat bagi kita untuk datang ke rumah.
Ibu dan Josh berlari menyeberangi jalan, ingin sekali keluar dari hujan. Aku menutup pintu mobil belakangku dan mulai berlari mengejar mereka.
Tapi sesuatu tertangkap mataku. Aku berhenti dan mendongak ke jendela kembar di atas teras.
Aku menahan tanganku menutupi alis untuk melindungi mataku dan memicingkan mata menembus hujan.
Ya. Aku melihatnya.
Suatu wajah. Pada jendela di sebelah kiri.
Anak itu.
Anak laki-laki yang sama di atas sana, menatap ke arahku.
4
"Bersihkan kakimu. Jangan buat jejak lumpur di lantai bersih bagus ini" teriak Ibu. Suaranya bergema di dinding-dinding hampa di ruang tamu kosong .
Aku melangkah ke koridor. Rumah itu berbau cat. Para pengecat baru saja selesai pada hari Kamis. Terasa panas di dalam rumah, jauh lebih panas dari pada luar.
"Lampu dapur tak mau hidup," teriak Ayah dari belakang. "Apakah para pengecat mematikan listrik atau sesuatu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" teriak Ibu kembali.
Suara mereka terdengar begitu keras di rumah besar kosong.
"Ibu - di lantai atas ada seseorang" teriakku, membersihkan kakiku di atas keset baru dan bergegas ke ruang tamu.
Dia berada di jendela, menatap hujan, mungkin mencari para pemindah barang. Dia berputar saat aku masuk
"Apa?"
"Ada anak di lantai atas. Aku melihatnya di jendela," kataku, berusaha mengatur napas.
Josh memasuki ruangan dari lorong belakang. Dia mungkin tadi bersama Ayah. Dia tertawa.
"Apakah ada seseorang yang sudah tinggal di sini?"
"Tak ada seorang pun di lantai atas," kata Ibu, memutar matanya. "Apakah kalian berdua hari ini akan memberiku istirahat, atau apa?"
"Apa yang kulakukan?" rengek Josh.
"Dengar, Amanda, kita semua di ujung hari sedikit-" Ibu
mulai.
Tapi aku memotongnya. "Aku melihat wajahnya, Ibu. Di jendela.. Aku tak gila, kau tahu."
"Kata siapa?" sela Josh.
"Amanda" Ibu menggigit bibir bawahnya, seperti selalu ia lakukan saat ia benar-benar jengkel. "Kau melihat pantulan dari sesuatu. Dari pohon mungkin.."
Dia berbalik kembali ke jendela. Hujan turun berlapis-lapis sekarang, angin bergerak ribut di jendela besar bergambar.
Aku berlari ke tangga, menangkupkan tangan ke mulutku, dan berteriak sampai ke lantai dua, "Siapa di sana?"
Tak ada jawaban.
"Siapa di sana?" panggilku, sedikit lebih keras.
Ibu menutupi telinganya dengan tangannya.
"Amanda - tolong "
Josh menghilang melalui ruang makan. Dia akhirnya menjelajahi rumah.
"Ada seseorang di atas sana," aku bersikeras dan menuruti hatiku, aku mulai menaiki tangga kayu, sepatuku berbunyi keras di tangga kosong.
"Amanda -" Aku mendengar panggilan Ibu setelah itu.
Tapi aku terlalu marah untuk berhenti. Mengapa dia tak percaya padaku? Mengapa ia harus mengatakan itu adalah pantulan dari pohon yang kulihat di sana?
Aku penasaran. Aku harus tahu siapa yang ada di lantai atas. Aku harus membuktikan Ibu salah. Aku harus menunjukkan padanya aku tak melihat satu pantulan yang bodoh. Kukira aku pun bisa sangat keras kepala, juga. Mungkin ciri khas keluarga.
Tangga berdecit dan berderit di bawah saat aku naik. Aku tak merasa takut betul sampai aku mencapai lantai dua. Lalu aku tiba-tiba punya perasaan berat di perutku.
Aku berhenti, terengah-engah, bersandar di pegangan tangga.
Siapa yang bisa begitu? Perampok? Satu anak tetangga yang membosankan melanggar ke sebuah rumah kosong untuk satu kesenangan?
Mungkin aku seharusnya tak di sini sendirian, aku menyadarinya.
Mungkin anak laki-laki di jendela itu berbahaya.
"Ada orang di sini?" panggilku, suaraku tiba-tiba gemetar dan lemah.
Masih bersandar pegangan tangga, aku mendengarkan.
Dan aku bisa mendengar langkah kaki berlari di lorong.
Tidak.
Bukan langkah kaki.
Hujan. Itulah apa itu. Derai hujan di atap papan sirap.
Untuk beberapa alasan, suara itu membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku melepaskan pegangan tangga dan melangkah ke lorong panjang dan sempit. Saat itu gelap di sini, kecuali cahaya abu-abu persegi panjang dari sebuah jendela kecil di ujung lain.
Aku berjalan beberapa langkah, papan lantai kayu tua berderit ribut di bawahku.
"Ada orang di sini?"
Sekali lagi tak ada jawaban.
Aku melangkah ke pintu pertama di sebelah kiriku. Pintu itu tertutup. Bau cat baru mencekik. Ada tombol lampu di dinding dekat pintu. Mungkin itu untuk lampu di koridor, pikirku. Aku menghidupkannya. Tapi tak ada yang terjadi.
"Ada orang di sini?"
Tanganku gemetar saat aku meraih gagang pintu. Rasanya hangat di tanganku. Dan lembab.
Aku berbalik dan, mengambil napas dalam-dalam, mendorong pintu.
Aku mengintip ke dalam ruangan. Cahaya abu-abu disaring melalui jendela. Satu kilatan petir membuatku melompat mundur. Guntur yang diikuti suara gemuruh jauh memudar.
Perlahan-lahan, hati-hati, Aku melangkah ke dalam ruangan. Lalu, satu lagi.
Tak ada tanda-tanda siapa pun.
Ini adalah kamar tidur tamu. Atau bisa juga kamar Josh jika dia memutuskan dia menyukainya.
Kilatan petir lainnya. Langit tampak gelap. Gelap gulita di luar sana meskipun setelah makan siang.
Aku mundur ke lorong. Ruang menurun berikutnya akan jadi milikku. Ruang itu juga memiliki jendela yang menonjol keluar untuk melihat ke bawah halaman depan.
Apakah anak yang kulihat itu menatap dari kamarku?
Aku mengendap-endap menyusuri koridor, membiarkan tanganku bergerak sepanjang dinding untuk beberapa alasan, dan berhenti di luar pintu kamarku, yang juga tertutup.
Dengan mengambil napas dalam-dalam, aku mengetuk pintu.
"Siapa di sana?" teriakku.
Aku mendengarkan.
Hening.
Kemudian satu sambaran halilintar, lebih dekat dari yang terakhir. Aku membeku seolah-olah aku lumpuh, menahan napas. Sangat panas di sini, panas dan lembab. Dan bau cat membuatku pusing.
Aku meraih kenop pintu.
"Siapa di sana?"
Aku mulai memutar tombolnya - ketika anak itu bergerak pelan-pelan dari belakang dan meraih bahuku.
5
Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa menjerit.
Jantungku serasa berhenti. Dadaku terasa seperti akan meledak.
Dengan nekat, upaya ketakutan, aku berbalik memutar.
"Josh" jeritku. "Kau membuatku ketakutan sampai mati, kupikir -"
Dia melepaskanku dan mundur selangkah.
"Kena" katanya, dan lalu mulai tertawa, tawa bernada tinggi bergema di lorong panjang yang kosong.
Jantungku berdebar keras sekarang. Keningku berdenyut-denyut.
"Kau tak lucu," kataku dengan marah. Aku mendorongnya ke dinding. "Kau benar-benar membuatku takut."
Dia tertawa dan berguling-guling di lantai. Dia benar-benar satu penyakit. Aku mencoba mendorongnya lagi tapi meleset.
Dengan marah, aku berpaling darinya - tepat waktu itu melihat pintu kamarku perlahan-lahan berayun terbuka.
Aku terkesiap tak percaya. Dan membeku, ternganga di pintu yang bergerak.
Josh berhenti tertawa dan berdiri, segera serius, matanya yang gelap terbelalak ketakutan.
Aku bisa mendengar seseorang bergerak di dalam ruangan.
Aku bisa mendengar bisik-bisik.
Tawa gembira.
"Siapa - siapa di sana?" aku berhasil bicara terbata-bata dengan suara agak tinggi yang tak kukenali.
Pintu itu, berderit keras, membuka sedikit lagi, lalu mulai menutup.
"Siapa di sana?" desakku , sedikit lebih tegas.
Sekali lagi, aku bisa mendengar bisikan, seseorang bergerak.
Josh mundur ke dinding dan berjalan pergi ke tangga. Dia memiliki ekspresi wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya - ketakutan.
Pintu itu, berderit seperti pintu di film rumah hantu, tertutup sedikit lagi.
Josh hampir sampai ke tangga. Dia menatapku, tangannya menunjuk dengan keras padaku agar mengikutinya.
Tapi sebaliknya, aku melangkah maju, meraih kenop pintu, dan membuka pintu dengan keras.
Ini tak melawan.
Aku melepaskan pegangan pintu dan berdiri menghalangi pintu.
"Siapa di sana?"
Ruangan itu kosong.
Guntur berdentam.
Aku butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang membuat pintu bergerak. Jendela pada dinding seberang telah dibiarkan terbuka beberapa inci. Hembusan angin melalui jendela yang terbuka pasti telah membuka dan menutup pintu. Kuduga itu juga menjelaskan suara-suara lain yang kudengar di dalam ruangan, suara yang kupikir bisik-bisik.
Siapa yang membiarkan jendela terbuka? Mungkin para pengecat.
Aku menarik napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan, menunggu debaran jantungku untuk menurun normal.
Merasa sedikit bodoh, aku berjalan cepat ke jendela dan mendorong menutupnya.
"Amanda - apakah kau baik-baik saja?" Josh berbisik dari lorong.
Aku mulai menjawabnya. Tapi kemudian aku punya ide yang lebih baik.
Dia tadi menakutiku setengah mati beberapa menit sebelumnya. Mengapa tak memberinya sedikit ketakutan? Dia pantas mendapatkannya.
Jadi aku tak menjawab.
Aku bisa mendengarnya mengambil beberapa langkah ketakutan mendekat ke kamarku.
"Amanda Amanda ? Kau baik-baik saja ?"
Aku berjingkat-jingkat ke lemariku, menarik pintu membuka sepertiga jalan. Lalu aku berbaring datar di lantai, di punggungku, dengan kepala dan bahu tersembunyi di dalam lemari dan sisanya keluar di dalam ruangan.
"Amanda?" Josh terdengar sangat ketakutan.
"Ohhhhh," erangku keras.
Aku tahu saat dia melihatku tergeletak di lantai seperti ini, dia benar-benar akan panik
"Amanda - apa yang terjadi?"
Dia berada di ambang pintu sekarang. Dia sekarang melihatku beberapa detik, berbaring di ruangan gelap, kepalaku tersembunyi dari pandangan, petir berkelap-kelip mengesankan dan guntur bergemuruh di luar jendela lama.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya agar tak tertawa cekikikan.
"Amanda?" bisiknya. Dan lalu ia pasti telah melihatku, karena dia berkata keras
"Hah?"
Dan aku mendengarnya terengah-engah.
Dan lalu dia berteriak sekuat-kuatnya. Aku mendengarnya berlari menyusuri lorong ke tangga, menjerit-jerit,
"Ibu Ayah"
Dan aku mendengar sepatunya bersuara keras menuruni tangga kayu, dengan jeritannya dan memanggil-manggil di sepanjang jalan ke bawah.
Aku tertawa sendiri. Lalu, sebelum aku bisa menarik diriku, aku merasa satu lidah kasar hangat menjilati wajahku.
"Petey "
Dia menjilati pipiku, menjilati kelopak mataku, menjilatiku dengan panik, seolah-olah ia sedang mencoba untuk menghidupkanku kembali, atau seolah-olah membiarkanku tahu bahwa semuanya baik-baik saja.
"Oh, Petey Petey" teriakku, tertawa dan melilitkan lenganku pada anjing manis itu. "Hentikan. Kau membuatku lengket semua"
Tapi dia tak akan berhenti. Dia terus menjilati dengan keras.
Anjing malang itu gugup juga, pikirku.
"Ayolah, Petey, sudahlah," kataku padanya, memegang wajahnya terengah-engah pergi dengan kedua tanganku. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tempat baru ini akan menjadi menyenangkan.. Kau akan melihat."
6
Malam itu, aku tersenyum sendiri sambil menepuk-nepuk bantalku dan meluncur ke tempat tidur. Aku sedang berpikir tentang bagaimana takutnya Josh telah sore itu, betapa kelihatan takutnya dia bahkan setelah aku datang berjingkrak menuruni tangga, baik-baik saja. Betapa marahnya dia bahwa aku menipunya.
Tentu saja, Ibu dan Ayah tak menganggap hal itu lucu. Mereka berdua gugup dan kesal karena van (pengangkut barang) pindah baru saja tiba, terlambat satu jam. Mereka memaksa Josh dan aku untuk membuat gencatan senjata. Tak ada lagi menakut-nakuti satu sama lain.
"Sulit untuk tak merasa takut di tempat tua mengerikan ini," gumam Josh.
Tapi kami enggan setuju untuk tak bermain lelucon lagi pada satu sama lain, jika mungkin kami bisa membantunya.
***
Para pria, mengeluh tentang hujan, mulai membawa di semua perabotan kami. Josh dan aku membantu menunjukkan kepada mereka di mana kami ingin barang-barang di kamar kami. Mereka menaruh meja riasku di tangga, namun hanya mendapat goresan kecil.
Perabot itu tampak aneh dan kecil dalam rumah besar ini. Josh dan aku mencoba untuk tetap keluar ke jalan sementara Ibu dan Ayah bekerja sepanjang hari, mengatur barang-barang, mengosongkan kardus, menempatkan pakaian. Ibu bahkan dapat menempatkan gantungan gorden di kamarku.
Hari yang melelahkan
Sekarang, sesaat setelah jam 10:00, mencoba tidur untuk pertama kalinya di kamar baruku, aku berputar ke pinggangku, kemudian ke punggungku. Meskipun ini adalah ranjang tuaku, aku tak bisa merasa nyaman.
Segalanya tampak begitu berbeda, begitu salah. Tempat tidur tak menghadap ke arah yang sama seperti di kamar tidur lamaku. Dinding-dindingnya yang kosong. Aku tak punya waktu untuk menggantungkan beberapa posterku. Ruangan itu tampak begitu luas dan kosong. Bayang-bayang tampak jauh lebih gelap.
Punggungku mulai terasa gatal, dan lalu aku tiba-tiba merasa gatal di seluruh tubuhku. Tempat tidur penuh dengan serangga Kupikir, duduk. Tapi tentu saja itu konyol. Itu adalah tempat tidur tuaku yang sama dengan seprei bersih.
Aku memaksa diriku untuk tenang kembali tidur dan memejamkan mata. Kadang-kadang ketika aku tak bisa tidur, aku menghitung pelan-pelan angka genap, membayangkan setiap nomor dalam pikiranku seperti yang kupikir. Ini biasanya membantu untuk menjernihkan pikiranku sehingga aku bisa tidur.
Aku coba sekarang, membenamkan wajahku di bantal, membayangkan angka-angka bergulir lewat. . . 4. . . 6. . . 8. . .
Aku menguap keras-keras, masih terjaga di 22.
Aku akan terjaga selamanya, pikirku. Aku tak akan pernah bisa tidur di kamar baru.
Tapi kemudian aku tertidur tanpa menyadarinya. Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Satu atau dua jam paling banyak. Cahaya itu, tidur yang tidak nyaman. Lalu sesuatu membangunkanku. Aku duduk tegak, terkejut.
Meskipun ruangan panas, aku merasa dingin. Melihat ke ujung tempat tidur, kulihat bahwa aku telah menendang seprei dan selimut yang teran. Sambil mengerang, aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, tapi lalu membeku.
Aku mendengar bisikan.
Seseorang berbisik di seberang ruangan.
"Siapa - siapa di sana?"
Suaraku jadi bisikan juga, kecil dan ketakutan.
Aku meraih selimut dan menariknya ke daguku.
Aku mendengar bisikan-bisikan lagi. Ruangan itu jadi jadi fokus mataku yang membiasakan diri dengan cahaya redup.
Gorden-gorden itu. Yang panjang, gorden tipis dari kamar lamaku yang ibuku gantung siang itu sedang berkibar di jendela.
Jadi. Itu menjelaskan bisikan-bisikan tadi. Gorden-gorden menggelembung itu pasti membuatku bangun.
Sebuah cahaya lembut abu-abu tersebar dari luar. Bayang-bayang gorden berwarna bergerak ke kaki tempat tidurku.
Sambil menguap, aku berbaring dan keluar dari tempat tidur. Aku merasa dingin saat aku berjalan pelan melintasi lantai kayu untuk menutup jendela.
Ketika aku mendekat, gorden berhenti menggembung dan mengembang kembali ke tempatnya. Aku mendorongnya ke samping dan mengulurkan tangan untuk menutup jendela.
"Oh"
Aku menjerit pelan ketika aku menyadari bahwa jendela itu tertutup.
Tapi bagaimana gorden berkibar seperti itu dengan jendela tertutup? Aku berdiri di sana untuk sementara waktu, menatap malam yang abu-abu. Tak banyak angin. Jendela tampak cukup kedap udara.
Apakah aku membayangkan gorden-gorden menggelembung ? Apakah mataku menipuku ?
Sambil menguap, aku bergegas kembali melalui bayangan-bayangan aneh ke tempat tidurku dan menarik selimut setinggi-tingginya.
"Amanda, berhenti menakut-nakuti diri sendiri," omelku.
Ketika aku tertidur kembali beberapa menit kemudian, aku mimpi buruk, mimpi paling mengerikan.
Aku bermimpi bahwa kami semua mati. Ibu, Ayah, Josh, dan aku.
Pada awalnya, aku melihat kami duduk di sekitar meja makan di ruang makan baru. Ruangan itu sangat terang, begitu terang aku tak dapat melihat wajah-wajah kami dengan baik. Mereka benar-benar kabur, putih terang.
Tapi, lalu, perlahan-lahan, perlahan-lahan, semua jadi terfokus, dan aku bisa melihat bahwa di balik rambut kita, kami tak punya wajah. Kulit kami tak ada, dan hanya tengkorak abu-abu hijau kami yang tersisa. Potongan-potongan daging menempel tulang pipiku. Hanya ada rongga dalam hitam di mana ada mataku.
Kami berempat, semua mati, duduk makan dalam diam. Piring-piring makan kami, kulihat, diisi dengan tulang-tulang kecil. Sebuah piring besar di tengah meja penuh tumpukan tinggi tulang abu-abu-hijau, tampaknya tulang manusia.
Dan lampu, dalam mimpi ini, makan menjijikkan kami terganggu oleh ketukan keras di pintu, satu gedoran keras semakin keras dan keras. Itu Kathy, temanku dari belakang rumah. Aku bisa melihatnya di pintu depan kami, menggedor dengan kedua tangannya.
Aku ingin pergi membuka pintu. Aku ingin lari dari ruang makan dan membuka pintu dan menyapa Kathy. Aku ingin berbicara dengan Kathy. Aku ingin menceritakan apa yang terjadi padaku, untuk menjelaskan bahwa aku sudah mati dan bahwa wajahku telah tak ada.
Aku ingin tahu kesulitan Kathy.
Tapi aku tak bisa bangun dari meja. Aku mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa bangun.
Gedoran pintu semakin keras dan keras, sampai memekakkan telinga. Tapi aku hanya duduk di sana dengan keluargaku yang mengerikan, mengambil tulang dari piring makan malamku dan memakannya.
Aku terbangun dengan kaget, kengerian dari mimpi itu masih bersamaku. Aku masih bisa mendengar dentuman di telingaku. Aku menggeleng, mencoba mengusir pergi mimpi itui.
Hari sudah pagi. Aku bisa tahu dari langit biru di luar jendela.
"Oh, tidak."
Gorden-gorden itu. Mereka menggelembung lagi, berkibar berisik seolah-olah bertiup ke dalam ruangan.
Aku duduk dan menatap.
Jendela masih tertutup.
7
"Aku akan melihat di jendela. Harusnya ada aliran udara atau kebocoran atau sesuatu," kata Ayah saat sarapan. Dia memasukkan sesuap lain telur orak-arik dan ham.
"Tapi, Yah - itu sangat aneh" Aku bersikeras, masih merasa takut. "Gorden-gorden itu bertiup seperti gila, dan jendela itu tertutup"
"Mungkin ada kaca jendela yang hilang," saran Ayah.
"Amanda menyedihkan " ujar Josh.
Ide leluconnya benar-benar lucu.
"Jangan mulai dengan kakakmu," kata Ibu, meletakkan piringnya di atas meja dan menjatuhkan diri ke kursinya. Dia tampak lelah. Rambutnya yang hitam, yang biasanya ditarik mundur secara hati-hati, acak-acakan. Dia menarik-narik ikat pinggang jubah mandinya. "Wah aku tak berpikir aku tidur dua jam semalam."
"Aku juga," kataku, mendesah. "Aku terus berpikir bahwa anak itu yang mungkin akan muncul di kamarku lagi."
"Amanda - kau harus benar-benar harus menghentikan ini," kata Ibu tajam. "Anak laki-laki di kamarmu. Gorden-gorden bertiup. Kau harus menyadari bahwa kau gugup. Dan imajinasimu bekerja lembur."
"Tapi, Bu -" Aku mulai.
"Mungkin satu hantu berada di balik gorden," kata Josh, menggoda. Dia mengangkat tangannya dan membuat tingkah hantu "oooooooh" meratap.
"Wah." Ibu meletakkan tangan di bahu Josh. "Ingat apa yang kau janjikan tentang menakut-nakuti satu sama lain?"
"Ini akan sulit bagi kita semua untuk menyesuaikan diri dengan tempat ini," kata Ayah. "Kau mungkin telah bermimpi tentang gorden-gorden bertiup, Amanda. Katamu kau punya mimpi buruk, benar?."
Mimpi buruk yang menakutkan terlintas kembali ke pikiranku. Sekali lagi aku melihat piring besar tulang itu di atas meja. Aku menggigil.
"Sangat lembab di sini," kata Ibu.
"Sedikit sinar matahari akan membantu mengeringkan tempat itu," kata Ayah.
Aku mengintip keluar jendela. Langit telah berubah kelabu. Pepohonan tampak menyebarkan kegelapan di seluruh halaman belakang kami.
"Di mana Petey?" tanyaku.
"Keluar ke belakang," jawab Ibu, menelan sebutir telur. "Dia bangun pagi juga. Kurasa tak bisa tidur. Jadi kubiarkan dia keluar."
"Apa yang kita lakukan hari ini?" Josh bertanya.
Dia selalu ingin tahu rencana untuk hari itu. Setiap rincian. Pokoknya hingga dia bisa berdebat tentang hal itu.
"Ayahmu dan aku masih punya banyak barang yang harus dibuka," kata Ibu sambil melirik ke lorong belakang, yang penuh dengan karton belum dibuka. "Kalian berdua dapat menjelajahi lingkungan. Lihat apa yang dapat kalian temukan.. Lihat apakah ada anak-anak lain seusia kalian di sekitar sini."
"Dengan kata lain, kau ingin kami tersesat" Kataku.
Ibu dan Ayah tertawa. "Kau sangat cerdas, Amanda."
"Tapi aku ingin membantu membuka barang-barangku," rengek Josh.
Aku tahu dia akan berdebat dengan rencana, seperti biasa.
"Pergilah berpakaian dan berjalan-jalan yang lama," kata Ayah. "Bawa Petey bersama kalian, oke. Dan ambil tali untuknya. Aku tinggalkan satu di tangga depan."
"Bagaimana dengan sepeda kami ? Mengapa kami tak bisa naik sepeda?" Josh bertanya.
"Mereka terbenam di belakang garasi," kata Dad. "Kau tak akan pernah bisa mendapatkannya. Selain itu, banmu kempes.."
"Jika aku tak bisa naik sepeda, aku tak akan keluar," desak Josh, menyilangkan lengan di depan dadanya.
Ibu dan Ayah harus berdebat dengannya. Kemudian mengancamnya. Akhirnya, ia setuju untuk pergi untuk "berjalan kaki singkat."
Aku menyelesaikan sarapanku, berpikir tentang Kathy dan teman-temanku yang lain di rumah dulu. Aku bertanya-tanya anak-anak seperti apa di Dark Falls. Aku bertanya-tanya apakah aku akan dapat menemukan teman baru, teman sejati.
Aku menawarkan diri untuk mencuci piring sarapan karena Ibu dan Ayah sudah begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Air hangat terasa sejuk pada tanganku saat aku menyeka piring menjadi bersih. Kurasa mungkin aku aneh. Aku suka mencuci piring.
Di belakangku, dari suatu tempat di bagian depan rumah, aku bisa mendengar Josh berdebat dengan Ayah. Aku nyaris tak bisa membuat kata-kata di atas cucuran air keran.
"Bola basketmu dikemas dalam salah satu karton," kata Ayah.
Lalu Josh mengatakan sesuatu.
Lalu Ayah berkata, "Bagaimana aku tahu yang mana?"
Lalu Josh mengatakan sesuatu.
Lalu Ayah berkata, "Tidak, aku tak punya waktu untuk melihat sekarang. Percaya atau tidak, bola basketmu tak ada di bagian atas daftarku.."
Aku menumpuk hidangan terakhir ke meja untuk mengeringkan, dan mencari handuk untuk mengeringkan tanganku. Tak ada yang terlihat. Aku kira itu belum dibuka.
Sambil menyeka tanganku di bagian depan pakaianku, aku berjalan menuju tangga.
"Aku akan berpakaian dalam lima menit," kataku pada Josh, yang masih berdebat dengan Ayah di ruang tamu. "Lalu kita bisa keluar."
Aku mulai menaiki tangga depan, dan kemudian berhenti.
Di atas aku di panggung tangga rumah berdiri seorang gadis yang aneh, seumurku, dengan rambut hitam pendek. Dia tersenyum padaku, bukan senyum hangat, bukan senyum ramah, tapi senyum dingin paling menakutkan yang pernah kulihat.
8
Satu tangan menyentuh bahuku.
Aku berbalik.
Itu Josh.
"Aku tak akan berjalan-jalan kecuali aku dapat mengambil basketku," katanya.
"Josh - tolong- " Aku melihat kembali ke atap, dan gadis itu pergi.
Aku merasa dingin. Kakiku semua bergetar. Aku meraih pegangan tangga.
"Yah. Kemarilah - tolong " panggilku.
Wajah Josh dipenuhi dengan kegelisahan.
"Hei, aku tak melakukan apa-apa" teriaknya.
"Tidak - itu - itu bukan kau," kataku, dan memanggil Ayah lagi.
"Amanda, aku agak sibuk," kata Ayah, muncul di bawah kaki tangga, sudah berkeringat dari membongkar barang-barang ruang tamu.
"Yah, aku melihat seseorang," kataku. "Di atas sana. Seorang gadis.."
Aku menunjuk.
"Amanda, tolong," jawabnya, membuat suatu wajah. "Berhentilah melihat sesuatu -....?. Oke. Tak ada orang di rumah ini kecuali kita berempat dan mungkin beberapa tikus"
"Tikus ?" Josh bertanya, tiba-tiba tertarik. "Sungguh mana??"
"Ayah, aku tak membayangkan hal itu," kataku, suaraku pecah. Aku benar-benar terluka karena dia tak percaya padaku.
"Amanda, lihat di atas sana," kata Ayah, menatap ke puncak tangga. "Apa yang kau lihat?"
Aku mengikuti tatapannya. Ada setumpuk pakaianku di panggung anak tangga. Ibu pasti baru saja membongkarnya.
"Ini hanya pakaian," kata Ayah tak sabar. "Itu bukan gadis, itu pakaian.."
Dia memutar matanya.
"Maaf," kataku pelan. Aku mengulanginya saat aku mulai menaiki tangga. "Maaf."
Tapi aku tak benar-benar merasa menyesal. Aku merasa bingung.
Dan masih takut.
Apakah mungkin yang aku berpikir setumpukan pakaian adalah seorang gadis yang tersenyum?
Tidak, aku tak berpikir begitu.
Aku tak gila. Dan aku memiliki penglihatan yang benar-benar baik.
Jadi, apa yang terjadi?
Aku membuka pintu kamarku, menyalakan lampu langit-langit, dan melihat gorden-gorden berkibar di depan jendela.
Oh, tidak. Tidak lagi, pikirku.
Aku bergegas menghampirinya. Kali ini, jendela terbuka.
Siapa yang membukanya?
Ibu, tebakku.
Hangat, udara basah meniup ke dalam ruangan. Langit terasa berat dan abu-abu. Baunya seperti hujan.
Beralih ke tempat tidur, aku mendapat kejutan lain.
Seseorang telah meletakkan pakaian untukku. Sepasang jeans pudar dan biru pucat, kaos tanpa lengan, semua itu menyebar berdampingan di kaki tempat tidur.
Siapa yang menaruhnya di sana? Ibu?
Aku berdiri di ambang pintu dan memanggilnya.
"Ibu ? Ibu ? Apakah kau memilih pakaian untukku ?"
Aku bisa mendengar dia berteriak sesuatu dari lantai bawah, tapi aku tak bisa mengerti kata-katanya.
Tenang, Amanda, aku berkata pada diriku sendiri. Tenang.
Tentu saja Ibu menarik pakaian keluar. Tentu saja yang Ibu menempatkannya di sana.
Dari ambang pintu, aku mendengar bisik-bisik di lemariku.
Bisikan-bisikan dan cekikikan pelan di balik pintu lemari.
Ini adalah batas kesabaran yang terakhir.
"Apa yang terjadi di sini?" Aku berteriak di bagian atas paru-paruku.
Aku bergegas ke lemari dan membuka pintu.
Dengan panik, aku mendorong pakaian-pakaian di situ. Tak seorang pun di sana.
Tikus-tikus ? Pikirku. Apakah aku mendengar tikus-tikus yang Ayah bicarakan itu?
"Aku harus keluar dari sini," kataku keras-keras.
Ruangan ini, aku menyadari, itu membuatku gila.
Tidak, aku membuat diriku sendiri gila. Membayangkan semua hal aneh ini.
Pasti ada penjelasan logis untuk segala sesuatu. Semuanya.
Saat aku menarik celana jeansku dan mengancingnya, aku mengatakan kata "logis" berulang-ulang dalam pikiranku. Aku mengatakan itu berkali-kali begitu banyak sehingga tak terdengar seperti kata nyata lagi.
Tenang, Amanda. Tenang.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya sampai hitungan ke sepuluh.
"Boo"
"Josh -. Hentikan itu kau tak membuatku takut," kataku, terdengar lebih jengkel dari yang seharusnya.
"Ayo keluar dari sini," katanya, menatapku dari ambang pintu. "Tempat ini membuatku merinding."
"Hah kau juga?"
Aku berseru. "Apa masalahmu?"
Dia mulai mengatakan sesuatu, lalu berhenti. Dia tiba-tiba tampak malu.
"Lupakan saja," gumamnya.
"Tidak, katakan padaku," aku bersikeras. "Apa yang akan kau katakan?"
Dia menendang papan hias di lantai . "Aku semalam bermimpi yang benar-benar menyeramkan," dia akhirnya mengakui, melihat melaluiku pada gorden yang berkibar di jendela.
"Suatu mimpi?" Aku ingat mimpi yang mengerikan.
"Ya. Ada dua anak laki-laki di kamarku Dan mereka bermaksud ..."
"Apa yang mereka lakukan?" tanyaku.
"Aku tak ingat," kata Josh, menghindari mataku. "Aku hanya ingat mereka menakutkan."
"Dan apa yang terjadi?" tanyaku, beralih ke cermin untuk sikat rambutku.
"Aku terbangun," katanya. Dan kemudian menambahkan dengan tak sabar, "Ayo, kita pergi.."
"Apakah anak-anak mengatakan sesuatu kepadamu?" tanyaku.
"Tidak, aku tak berpikir begitu," jawab dia serius. "Mereka hanya tertawa."
"Tertawa?"
"Yah, terkikik, semacam," kata Josh.
"Aku tak ingin membicarakannya lagi," tukasnya. "Apakah kita akan pergi untuk perjalanan bodoh ini, atau tidak?"
"Oke, aku siap,." Kataku, meletakkan sikatku, melihat terakhir kalinya di cermin. "Mari kita pergi untuk perjalanan bodoh ini."
Aku mengikutinya menyusuri koridor. Ketika kami melewati tumpukan pakaian di atap, aku berpikir tentang gadis yang kulihat berdiri di sana. Dan aku berpikir tentang anak laki-laki di jendela ketika kami pertama kali tiba. Dan dua anak laki-laki yang Josh lihat dalam mimpinya.
Aku memutuskan itu membuktikan bahwa Josh dan aku sama-sama sangat gugup tentang pindah ke tempat baru ini. Mungkin Ibu dan Ayah benar. Kami membiarkan imajinasi kita berjalan dengan kami.
Ini pasti imajinasi kami.
Maksudku, apa lagi yang bisa terjadi ?
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
9
Beberapa detik kemudian, kami melangkah ke halaman belakang untuk membawa Petey. Dia senang melihat kami seperti biasa, melompat pada kami dengan cakarnya yang berlumpur, menyalak gembira, berjalan melingkar gila-gilaan melalui dedaunan. Ini menghiburku hanya dengan melihatnya.
Suhu panas dan lembab meskipun langit tampak kelabu. Tak ada angin sama sekali. Pohon-pohon tua yang tebal berdiri diam seperti patung.
Kami turun dari ujung jalanan berkerikil ke jalanan, sepatu kami menendang di, daun-daun coklat kering, Petey berjalan di zigzag di sisi kami, pertama di depan kami, kemudian di belakang.
"Setidaknya Ayah tak meminta kita untuk menyapu semua daun-daun tua ini," kata Josh.
"Dia akan," aku memperingatkan. "Aku tak berpikir dia belum membuka sapu."
Wajah Josh berubah. Kami berdiri di pinggir jalan, memandangi rumah kami, jendela-jendela di lantai dua menatap kembali pada kami seperti mata.
Rumah tetangga sebelah, aku melihat untuk pertama kalinya, ukurannya sama seperti rumah kami, kecuali itu atapnya bukan dari batu bata. Gorden-gorden di ruang tamu ditarik kebawah tertutup. Beberapa jendela lantai atas tertutup. Pohon-pohon tinggi membuat rumah tetangga dalam kegelapan, juga.
"Lewat mana?" tanya Josh, sambil melemparkan sepotong kayu untuk Petey kejar.
Aku menunjuk ke jalan itu.
"Sekolah lewat jalan itu," kataku. "Mari kita periksa."
Jalanan menanjak miring. Josh mengambil satu cabang pohon kecil dari sisi jalan dan menggunakannya sebagai tongkat. Petey terus berusaha mengunyah sementara Josh berjalan.
Kami tak melihat siapa pun di jalanan atau di salah satu halaman depan kami lewati. Tak ada mobil lewat.
Aku mulai berpikir seluruh kota itu kosong, sampai anak itu keluar dari balik bukit yang rendah.
Dia muncul begitu tiba-tiba, baik Josh dan aku berhenti di jalan kami.
"Hai," katanya malu-malu, melambai sedikit pada kami.
"Hai," jawab Josh dan aku pada saat yang sama.
Lalu, sebelum kita menariknya kembali, Petey berlari ke anak itu, mengendus sepatu, dan mulai menggeram dan menyalak. Anak itu melangkah mundur dan mengangkat tangannya seolah-olah ia melindungi dirinya sendiri. Dia terlihat sangat ketakutan.
"Petey - berhenti" teriakku.
Josh meraih anjing dan mengangkatnya, tapi ia terus menggeram.
"Dia tak menggigit," kataku anak itu. "Dia biasanya tak menggonggong juga aku minta maaf.."
"Tak apa-apa," kata anak itu, menatap Petey, yang menggeliat-geliat untuk keluar dari lengan Josh. "Dia mungkin mencium bau sesuatu padaku."
"Petey, berhenti" teriakku.
Anjing itu tak berhenti menggeliat.
"Kau tak ingin diikat - bukan ?"
Anak itu pendek, rambut pirang bergelombang dan mata biru sangat pucat. Dia memiliki hidung yang tampak lucu sepertinya keluar dari satu tempat di wajah seriusnya. Dia mengenakan kaus lengan panjang merah tua meskipun hari itu lembab, dan celana jeans hitam lurus. Dia memiliki topi baseball biru yang dimasukkan ke saku belakang celana jinsnya.
"Aku Amanda Benson," kataku. "Dan ini adalah adikku Josh."
Josh ragu-ragu menempatkan Petey kembali di tanah. Anjing menggonggong sekali, menatap anak itu, merintih pelan, lalu duduk di jalan dan mulai untuk menggaruk dirinya sendiri.
"Aku Ray Thurston," kata anak itu, memasukkan tangan ke saku celana jins, masih menatap waspada pada Petey. Dia tampak lebih santai sedikit, meskipun, melihat anjing yang telah kehilangan minat untuk menggonggong dan menggeram ke arahnya.
Aku tiba-tiba menyadari bahwa Ray tampak akrab. Dimana aku melihatnya sebelumnya? Dimana? Aku menatapnya tajam sampai aku ingat.
Dan lalu aku tersentak kaget tiba-tiba.
Ray adalah anak itu, anak yang di kamarku. Anak laki-laki di jendela.
"Kau -" Aku tergagap menuduh. "Kau di rumah kami"
Dia tampak bingung. "Hah?"
"Kau berada di kamarku - benar kan ?" Aku bersikeras.
Dia tertawa.
"Aku tak mengerti," katanya. "Di kamarmu ?"
Petey mengangkat kepalanya dan memberikan geraman pelan ke arah Ray. Lalu ia kembali ke menggaruk serius.
"Kupikir aku melihatmu," kataku, mulai merasa sedikit ragu. Mungkin itu bukan dia. Mungkin. . . .
"Aku tak berada di rumahmu dalam waktu yang lama," kata Ray, sambil waspada pada Petey.
"Satu waktu yang lama?"
"Ya. Aku dulu tinggal di rumahmu," jawabnya.
"Hah?" Josh dan aku menatapnya dengan heran. "Rumah kami?"
Ray mengangguk. "Ketika kami pertama kali pindah ke sini," katanya. Dia mengambil sebuah kerikil datar dan melemparnya ke jalan.
Petey menggeram, mulai mengejarnya, berubah pikiran, dan menjatuhkannya kembali di jalan, ekornya bergoyang-goyang bersemangat.
Awan tebal turun di langit. Tampaknya akan jadi lebih gelap.
"Di mana kau tinggal sekarang?" tanyaku.
Ray melemparkan batu lagi, kemudian menunjuk jalan itu.
"Apakah kau suka rumah kami?" Josh tanya Ray.
"Ya, itu bagus," kata Ray padanya. "Bagus dan teduh."
"Kau suka itu?" teriak Josh. "Kupikir rumah itu kotor, begitu gelap dan -."
Petey menyela. Dia memutuskan untuk mulai menggonggong pada Ray lagi, berlari sampai ia beberapa senti di depan Ray, lalu mundur. Ray mengambil beberapa langkah hati-hati kembali ke tepi trotoar.
Josh menarik tali dari saku celana pendeknya.
"Maaf, Petey," katanya.
Aku memegang anjing yang menggeram itu sementara Josh memasang tali untuk ban lehernya.
"Dia tak pernah melakukan ini sebelumnya. Sungguh," kataku, meminta maaf kepada Ray.
Tali itu tampaknya membingungkan Petey. Ia menyentak tali itu, menarik Josh ke seberang jalan. Tapi setidaknya dia berhenti menggonggong.
"Mari kita lakukan sesuatu," kata Josh tak sabar.
"Seperti apa?" Ray bertanya, santai lagi sekarang saat Petey diikat tali.
Kami semua berpikir untuk sementara waktu.
"Mungkin kita bisa pergi ke rumahmu" usul Josh pada Ray.
Ray menggeleng. "Tidak, aku tak berpikir begitu," katanya. "Tidak sekarang."
"Dimana semua orang?" Aku bertanya, memandang ke jalan kosong. "Ini benar-benar mati di sini, ya?"
Dia terkekeh. "Ya kukira kau bisa mengatakan itu,." Katanya. "Mau pergi ke taman bermain di belakang sekolah?"
"Ya. Oke," aku setuju.
Kami bertiga menuju jalan, Ray memimpin jalan, aku berjalan beberapa langkah di belakangnya, Josh memegang cabang pohon di satu tangan, tali di tangan lainnya, Petey berlari-lari di jalan ini, maka itu, membuat Josh benar-benar kerja keras waktu itu.
Kami tak melihat gerombolan anak-anak sampai kita berbelok.
Ada sepuluh atau dua belas dari mereka, sebagian besar anak laki-laki namun ada beberapa gadis juga. Mereka tertawa dan berteriak, mendorong satu sama lain, bermain-main karena mereka datang ke arah kami di tengah-tengah jalan. Beberapa dari mereka, aku lihat seusiaku. Sisanya remaja. Mereka mengenakan celana jins dan kaos berwarna gelap. Salah satu gadis berdiri keluar karena dia punya rambut pirang lurus panjang dan memakai celana panjang tipis elastis berwarna hijau.
"Hei, lihat" teriak anak laki-laki jangkung dengan rambut hitam licin, menunjuk pada kami.
Melihat Ray, Josh, dan aku, mereka jadi tenang tetapi tak berhenti bergerak ke arah kami. Beberapa dari mereka tertawa, seolah-olah mereka menikmati lelucon pribadi.
Kami bertiga berhenti dan mengamati mereka mendekat. Aku tersenyum dan menunggu untuk menyapa. Petey menarik-narik tali dan menggonggong kepalanya.
"Hai, teman-teman," kata anak jangkung dengan rambut hitam, menyeringai.
Yang lainnya berpikir ini sangat lucu untuk beberapa alasan. Mereka tertawa. Gadis bercelana panjang hijau memberi sedikit dorongan pada anak laki-laki berambut merah yang hampir membuatnya kepadaku.
"Bagaimana kabarmu, Ray?" tanya seorang gadis dengan rambut hitam pendek, tersenyum pada Ray.
"Tak buruk. Hai, teman-teman ," jawab Ray. Dia berbalik pada Josh dan aku. "Ini adalah beberapa temanku. Mereka semua dari lingkungan ini.."
"Hai," kataku, merasa canggung. Aku berharap Petey berhenti menggonggong dan menarik-narik talinya seperti itu. Josh yang malang pasti memiliki waktu yang mengerikan memeganginya.
"Ini George Carpenter," kata Ray, sambil menunjuk anak laki-laki berambut merah pendek, yang mengangguk. "Dan Jerry Franklin, Karen Somerset, Bill Gregorius..."
Dia berkeliling lingkaran, menyebu nama setiap anak. Kucoba mengingat semua nama, tetapi, tentu saja itu mustahil.
"Bagaimana, kau suka Dark Falls ?" tanya salah seorang gadis kepadaku.
"Aku tak benar-benar tahu," kataku. "Ini hari pertamaku di sini, sungguh. Sepertinya bagus.."
Beberapa anak tertawa pada jawabanku, untuk beberapa alasan.
"Anjing jenis apa itu?" tanya George Carpenter pada Josh.
Josh, memegang erat pegangan tali, mengatakan kepadanya. George menatap tajam Petey, mempelajarinya, seolah-olah ia belum pernah melihat anjing seperti Petey sebelumnya.
Karen Somerset, gadis tinggi cantik dengan rambut pirang pendek, mendatangiku sementara beberapa anak-anak lain mengagumi Petey.
"Kau tahu, aku dulu tinggal di rumahmu," katanya pelan.
"Apa?" Aku tak yakin aku akan mendengarnya dengan benar.
"Mari kita pergi ke taman bermain," kata Ray, menyela.
Tak ada yang menanggapi usulan Ray.
Mereka jadi tenang. Bahkan Petey berhenti menggonggong.
Apakah Karen benar-benar mengatakan bahwa ia dulu tinggal di rumah kami? Aku ingin bertanya, tapi ia melangkah kembali ke dalam lingkaran anak-anak.
Lingkaran itu.
Mulutku ternganga saat aku menyadari bahwa mereka telah membentuk lingkaran di sekitar Josh dan aku.
Aku merasakan tikaman ketakutan. Apakah aku membayangkan itu? Apakah sesuatu yang terjadi?
Mereka semua tiba-tiba tampak berbeda bagiku. Mereka tersenyum, namun wajah mereka tegang, waspada, seolah-olah mereka mengharapkan masalah.
Dua dari mereka, aku sadari, membawa pemukul bisbol. Gadis dengan celana hijau menatapku, menatapku dari atas dan bawah, memeriksaku dari luar.
Tak ada yang berkata-kata. Jalan itu hening kecuali Petey, yang sekarang merintih pelan.
Aku tiba-tiba merasa sangat takut.
Mengapa mereka menatap kami seperti itu?
Atau imajinasiku melarikan diriku lagi?
Aku berpaling ke Ray, yang masih di sampingku. Dia tidak melihat semua masalah itu sama sekali. Tapi dia tak menatapku kembali.
"Hei, teman-teman -" kataku. "Apa yang terjadi?"
Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi suaraku sedikit gemetar.
Aku menatap Josh. Dia sedang sibuk menenangkan Petey dan belum menyadari bahwa hal-hal itu telah berubah.
Kedua anak laki-laki dengan pemukul bisbol menahan pemukul setinggi pinggang dan bergerak maju.
Aku melihat ke sekeliling lingkaran,perasaan takut mencekam dadaku.
Lingkaran diperketat. Anak-anak itu mendekati kami.
bersambung klik di sini
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dan mari kita tunjukan bahwa kita adalah bangsa yg beradab..
Terimakasih